12

27 4 0
                                    

Selembar foto Harumi berikan kepada seorang pemuda yang sedari tadi hanya duduk termenung menatap langit. Sejak sore tadi, tidak banyak hal yang dibicarakan keduanya. Bahkan, sudah hampir satu jam berlalu sejak Harumi datang berkunjung ke rumah tetangganya dan duduk di samping pemuda itu sekarang.

Tatapan itu kosong. Namun kekosongan itulah yang justru mengantarkannya pada perasaan yang sesungguhnya. Harumi bisa merasakan dengan benar semua kesakitan yang ada di dalam hati pemuda itu. Ia mengutuk dirinya sendiri karena baru bisa mengerti dengan situasinya. Ah! Pemuda itu terlalu menanggung masalahnya sendirian.

"Nani kore?" tanya pemuda itu dengan lemah. Pandangannya kini menatap lesu wajah Harumi.

"Petunjuk pertama –"

Akira meraih lembaran foto itu dari tangan Harumi. Pandangannya menatap foto itu dengan sangat lekat selama beberapa lama. Nafasnya tertahan selama beberapa detik ketika dirinya kembali melihat wajah itu. Wajah yang saat ini ia rindukan.

" – Aku menemukannya terselip di bukuku, malam setelah kita merapikan barang di rumahmu. Maaf karena aku lancang mengetahui masalahmu, Akira,"

"Tidak perlu meminta maaf. Kau hanya tidak sengaja terseret dalam masalah pribadiku, itu saja. Tapi, jika bukan karenamu, aku mungkin akan terus hidup dalam dunia yang abu-abu-"

Pandangannya kembali mengarah ke langit. Entah mengapa melihat sikap Akira yang seperti ini, membuat Harumi merasa perih. Tidak ada kata yang dapat ia ucapkan saat ini. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bertindak. Bahkan saat ini ia hanya bisa menunggu pemuda itu menenangkan dirinya sendiri.

" – Kau tahu? Alasanku untuk pindah ke sini adalah untuk kabur dari perasaanku sendiri. Sebenarnya, hubunganku dengan keluargaku tidak terlalu baik. Namun yang membuatku berat saat ini adalah kematian kakakku,"

*************

Seorang anak laki-laki diam mematung berdiri di ambang pintu masuk sebuah rumah. Bukan apa-apa, ia harus kembali mendengar suara-suara yang menyakiti telinganya. Padahal ia baru saja pulang sekolah. Baginya, berada di tempat itu sekarang rasanya lebih melelahkan dari pada ia seharian berada di sekolah.

Ia pun melangkah masuk tanpa mengucapkan salam sama sekali. Ah! Bahkan dua orang dewasa itu tidak menyadari bahwa kini anak laki-laki itu melangkah naik tangga. Ia pun menutup pintu kamar dan duduk di kasurnya dengan memeluk kedua lutut. Kepalanya sakit karena terus menerus mendengar suara teriakan yang tumpang tindih itu.

Air matanya berhasil lolos dan semakin deras mengalir di pipinya. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan kecilnya. Namun semua itu percuma, ia masih bisa mendengar semuanya. "Hentikan!!! Aku mohon hentikan!!!" ucapnya dengan lemah.

Percuma saja, tidak ada yang mendengarkan semua perkataannya. Dua orang dewasa itu tidak akan mendengarkan perkataan dari anak kecil sepertinya. Akira tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Entah sejak kapan kedua orang tuanya jadi sering bertengkar seperti ini. Ia pun menyembunyikan wajahnya di balik kedua lutut kecilnya.

"Akira! –" panggil seseorang dengan nada yang lembut.

Anak laki-laki itu menegakkan kembali pandangannya dan menangkap sesosok gadis yang berdiri di ambang pintu kamarnya dari matanya yang sembab. Gadis itu masih memakai baju seragamnya. " – Ayo kita beli es krim,"

Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut sang anak laki-laki. Yang ada hanyalah sebuah isakan. Dengan lembut, gadis itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya. Sejenak Akira berpikir, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meraih uluran tangan sang kakak dan pergi keluar rumah bersama.

A Kind of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang