Hari ini, pertengahan tahun 1999.
"Bima ..."
Aku menoleh kepada Ibu yang sedang duduk di kursi dekat dapur dan menatap ke luar jendela. Ibuku sudah berusia 49 tahun ini, masih cantik walaupun ketika tertawa, ujung matanya sudah tampak kerutan.
"Kenapa tak kau buka saja pagar depan supaya bila Kakakmu datang, ia tak perlu memanggil-manggil," kata Ibu pelan. Aku tersenyum sambil mendekati sosok yang telah berjasa membesarkan aku dan kedua saudaraku. Kurangkul bahunya yang kurus dengan perasaan sayang.
"Bima tidak menguncinya, Bu. Lagian ... Ibu sudah tau kalau Kak Juna dan Kak Arimbi punya kunci. Apakah yang Ibu maksud sebenarnya adalah Paman?" tanyaku pelan. Ibu tidak menatapku, tapi kurasakan bahunya tegang dalam rangkulanku. Beliau juga tak menjawab pertanyaanku. Berkali-kali dalam hidupku, pertanyaan yang bersangkutan dengan Paman Lintang tak pernah terjawab.
"Apakah Ibu mengundangnya untuk merayakan ulang tahun Ibu hari ini?" tanyaku lagi, berusaha agar tidak terlalu terlihat menekan Ibuku. Aku pura-pura sibuk memperhatikan telur yang sedang direbus dalam panci. Kukecilkan apinya agar tidak membuat retak kulitnya, sebab menurut pandangan kuno, telur merah dalam perayaan ulang tahun, tidak boleh sampai retak. Aku meragukan semua pandangan itu. Ibu tak pernah merebus telur sampai retak dalam pernikahannya dengan Bapak, tetapi pernikahannya hancur. Bapak punya istri lagi dan menyakiti hati Ibu.
"Pamanmu tak datang. Aku tak mengundangnya. Tapi dia sudah mengucapkan selamat ulang tahun padaku," kata Ibu pelan.
"Kenapa Paman tidak datang?" tanyaku dengan nada sepelan nada Ibu. Aku tak ingin Ibu merasa dikejar dengan pertanyaanku. Ibu akan defensif kalau pertanyaanku dianggap terlalu menekannya.
"Ini kan perayaan sederhana untuk keluarga dan dia bukan keluarga," jawab Ibu.
"Bu ...."
Kembali kurangkul Ibuku dengan perasaan kasih. Dia yang telah membesarkan kami bertiga, kedua kakakku dan aku, seorang diri tanpa sokongan dari Bapak dan keluarganya. Ibu bahkan rela bekerja menjadi penjahit demi menyekolahkan kami sampai menjadi sarjana tanpa uang dari keluarga Bapak. Aku bisa mengerti alasan Beliau menjadi keras hati pada keluarga Bapak. Ibu sangat menderita ketika menjadi istri Bapak. Lahir dan batin. Ibu benci berhubungan dengan keluarga Bapak lagi. Tetapi ... Pamanku, Lintang, adik kandung Bapak menjadi salah satu pengecualian.
"Paman ke luar kota kemarin malam. Jadi Ibu tak mengundangnya," kilah Ibu ringan. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, akulah anak yang paling dekat dengan Ibu. Bukan berarti kedua kakakku tidak sayang pada Ibu, hanya saja dibanding mereka, aku yang lebih mengerti perasaannya. Jadi sekarang ini, kukira Ibu pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Pamanku Lintang tak pernah absen sekalipun dalam dua puluh tahun terakhir di rumah kami pada pagi hari di hari ulang tahun Ibu. Tak pernah.
"Bu ... sebenarnya ada apa?"
"Omaaaaa! Paman Bima!"
"Papa, cepat buka pintu, Abi mau ucapin selamat ulang tahun sama Oma. Cepet, Pa!"
Kudengar suara kedua keponakanku di luar pagar. Suara mereka bisa terdengar sampai ke pos satpam komplek karena rumah kami ini memang letaknya di jalan pertama yang paling dekat dengan pos.
"Omaaaaaa!"
Terdengar lagi teriakan yang disambut oleh salak anjing di rumah tetangga seberang. Lalu disahutin oleh anjing lainnya. Suara anjing masih terdengar ketika kedua keponakanku masuk sambil berlarian berhamburan menuju Ibu dan memeluknya. Ibu berjongkok agar dapat memeluk kedua cucunya.
"Selamat ulang tahun, Oma. Oma paling baik sedunia."
Ibu tertawa mendengar ucapan sayang dari kedua cucu kesayangannya. Aku memperhatikan momen ini dan dalam hati bertanya, apakah Bapak tak pernah merindukan kejadian seperti ini? Dipeluk oleh cucu-cucunya dan dibisikkan kata sayang oleh cucu yang lucu? Lalu aku menggeleng, Bapak bukan tak menginginkannya, ia mendapatkannya dari cucunya yang lain. Anak-anak dari perempuan itu, yang telah merusak kasih Bapak kepada Ibu, membuat Ibu pergi dari rumah Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...