part 18 Marahan Ala Psikopat

1K 83 3
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Axel segera menemui Lea di kelasnya. Sementara,  Keysa sudah Ia suruh pulang dengan ojek online. Dilihatnya Lea yang sedang mengemasi bukunya. Kemudian Lea melangkah melewati Axel begitu saja. Axel pun segera menyamai langkah Lea.

"Le, lo marah?" pertanyaan Axel menghentikan langkah Lea. Namun, itu tak berlangsung lama. Karena setelah itu Lea kembali melanjutkan perjalanannya. Sampai di parkiran Lea berhenti kembali. Lewat isyarat matanya Lea menyuruh Axel mengambil motornya. Lea pun segera naik ke atas motor Axel. Axel mulai menjalankan motornya. Namun, Axel bingung kemana mereka sekarang? Karena sedari tadi Lea hanya diam di bangku belakang.

"Jalan Aksa Muda no.4," ujar Lea seakan tau pemikiran Axel. Sesampainya disana, Lea segera turun dan menuju gedung kosong. Axel pun hanya mengikuti Lea dari belakang. Terjadi keheningan di antara mereka.

"Le, ngomong dong. Kalau marah jangan diem aja." Akhirnya setelah sekian lama saling diam, Axel pun angkat bicara. Sementara, Lea menoleh dengan pandangan tak suka. Namun, sedetik kemudian Lea tertawa terbahak-bahak yang membuat Axek bingung.

"Masih jaman marah diem-dieman? Mending bacokan," ujar Lea membuat Axel membulatkan matanya. Selama hidup menjadi psikopat,  tak ada yang mengajaknya secara terang-terangan untuk saling memainkan pisau.

"Le, nggak serius kan?" tanya Axel memastikan. Lea tak menghiraukannya karena tengah sibuk memilih pisau di tasnya.

"Xel, tangan kamu tadi disentuh Keysa kan? Enaknya aku patahin mana dulu?" Pertanyaan Lea membuat Axel menelan salivanya kasar. Hei bukankah mereka sama-sama psikopat? Tapi entah mengapa, kali ini Lea terlihat lebih menyeramkan.

"Le, aku bisa jelasin semuanya. Kamu jangan kaya gini. Coba kamu marah kenapa?" tanya Axel membuat Lea mendengus.

"Dasar cowok nggak peka!" Perkataan Lea membuat Axel melebarkan matanya. Bukankah sedaritadi dia mencoba bersabar? Namun, kini Lea malah memancing emosinya.

"Cewek aja yang banyak rahasia." Perkataan Axel membuat Lea menoleh.

"Cowok aja yang kurang bersyukur. Udah ada cewek yang setia masih aja matanya kemana-mana," ujar Lea masih sibuk dengan pisauanya.

"Ceweknya aja yang kegatelan. Belum juga bicara udah baper duluan," ujar Axel semakin emosi. Harga dirinya sebagai kaum laki-laki tengah dipertaruhkan.

"Cewek nggak baperan kalau cowoknya nggak ngasih umpan. Awal pacaran cowok romantisan eh udah akhiran tinggal ngilang cari yang menawan. Kamu kira cewek tempat persinggahan. " Skak mat! Berbicara dengan cewek memang membuatnya serba salah. Axel menghembuskan napas guna mengatur emosinya. Dirinya lupa tentang prinsip cewek yang selalu benar dan cowok yang salah.

"Cowok selalu salah? Mereka nggak bakal terlihat salah kalau nggak cari masalah." Axel melongo mendengar lontaran kalimat dari Lea. Apakah pacarnya itu kini tengah menjadi cenanyang? Batin Axel.

"Duduk, Le. Jangan kaya anak kecil gitu." Lea pun menuruti perintah Axel.

"Dia Keysa. Anak angkat almarhum tante Gina. Sebelum meninggal, tante Gina pesen supaya aku jaga dia. Dua hari lalu, dia pindah kerumah aku. Karena om Andre mau pindah ke Amerika selama setahun. Sementara Keysa memilih menetap di Indonesia." Axel menjelaskan semuanya pada Lea agar tak terjadi salah paham.

"Trus aku harus apa?" Pertanyaan Lea membuat Axel melongo. Dirinya sudah menjelaskan panjang lebar. Namun, respon Lea hanya seperti itu. Axel pun menghela napas lelah.

"Kamu kan marah. Jadi sekarang mau maafin aku?" tanya Axel pada Lea. Lea sendiri nampak tengah berpikir keras seolah-olah jawabannya ini sangat sulit.

"Mau deh. Tapi ada syaratnya," ujar Lea setelah beberapa saat berpikir.

"Syaratnya apa?" tanya Axel. Axel berpikir pasti Lea akan meminta es krim, boneka atau baju.

"Mau gambar di tangan kamu." Permintaan Lea membuat Axel melongo. Terdengar mudah bagi orang lain, tapi tidak dengan Axel. Menggambar versi Lea bukanlah dengan cat air. Melainkan, menggambar dengan pisau dan darah sebagai pewarnanya. Axel melupakan sebuah fakta, bahwa pacarnya itu bukan wanita biasa. Dengan terpaksa Axel mengangguk setuju. Lea pun berteriak senang, layaknya seorang anak kecil yang diberi hadiah.

"Emm... gambar mawar kesukaan Axel aja deh," gumamnya kemudian mulai menggambar dengan pisaunya. Axel pun meringis saat pisau itu menembus kulitnya.

"Yah kok ada merahnya." Axel ingin mengumpati Lea. Jelas saja itu warna merah darah yang keluar dari kulitnya. Namun, Axel memilih diam agar Lea cepat selesai dengan kesibukannya itu.

"Xel, cara hapusnya gimana?" Pertanyaan konyol Lea membuat Axel memijit pelipisnya pusing. Bagaiman bisa sayatan kulit dapat dihapus begitu cepat?

"Udah selesaiin aja dulu gambarnya," perintah Axel karena Lea tak kunjung selesai.

"Sakit nggak?" tanya Lea kembali yang membuat Axel ingin menghilang dari tempatnya. Bayangkan saja betapa sakitnya tangan disayat? Tapi Lea dengan bodohnya masih bertanya. Lea pun selesai dengan gambarannya di tangan Axel. Kemudian Ia mengeluarkan kotak P3K.

"Xel, mau diobati atau ditambahin?"

"Obatin!" Dengan cepat Axel menjawab pertanyaan Lea. Jika dilanjutkan bisa saja Lea menggambar gedung di kota ini, atau bahkan menggambar bumi. Axel memang suka melihat darah, tapi bukan dari dirinya sendiri. Dengan telaten Lea membalut luka di tangan Axel. Kemudian Lea mengobrak-abrik kembali isi tasnya.

"Cari apa lagi?" tanya Axel bingung. Kemudian Lea menunjukkan sebuah lipstik merah. Axel pun tambah kebingungan.

"Buat apa Le?" Pertanyaan Axel tak dihiraukan oleh Lea. Lea sibuk berkaca untuk menggunakan lipstik tersebut. Kemudian Ia mendekat ke arah tangan Axel yang sedang di perban. Dengan perlahan, Lea mencium perban tersebut. Hingga tertinggalah bekas bibirnya.

"Udah ada stempelnya!" Teriakan Lea membuat Axel terkejut dan menutup telinganya.

"Makasih Axel," ucap Lea dengam tersenyum lebar. Axel pun mengacak rambut Lea gemas. Hanya dengan menyayat tangannya saja, Lea sudah begitu bahagia.

"Mau langsung pulang atau gimana?" tanya Axel pada Lea yang sibuk membereskan peralatannya.

"Deket sini ada danau. Main bentar yuk," ajak Lea yang diangguki Axel. Mereka pun berjalan menuju danau.

"Duduk bawah pohon itu aja, yuk." Lea menujuk sebuah pohon. Mereka pun duduk disitu.

"Jangan deket-deket Keysa," perkataan Lea membuat Axel menoleh.

"Tiap hari kan pasti ketemu, Le," jawab Axel heran. Bagaimana dia bisa menjauh? Jika mereka saja tinggal satu rumah.

"Ya tapi kalau di sekolahan jangan deket-deket," tukas Lea kesal. Axel pun terkekeh geli melihat kecemburuan Lea.

"Cie cemburu," goda Axel yang membuat Lea menoleh.

"Bukan cemburu, Xel. Tapi, masa iya nanti di sekolah ada rumor mengatakan Lea diselingkuhi. Dih nggak banget." Jlebb sudah kata-kata Lea. Axel pun hanya mengulum senyumnya. Karena Ia tau alasan utama Lea adalah cemburu.

"Iya, deh. Nggak deket-deket sama Keysa, mending deket sama Lea," ujar Axel dengan menyenggol lengan Lea. Keduanya pun tertawa bersama. Karena hari sudah semakin sore, Axel mengantarkan Lea pulang ke rumahnya.

Uwuw banget tuh kan ya
Jangab lupa tinggalin jejaknya yes

Sweet Couple Psychopath (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang