1.|| DIA

784 88 58
                                    

1. DIA

"Ternyata benar, pertemuan pertama menumbuhkan rasa penasaran, pertemuan ke dua menumbuhkan rasa rindu, dan selanjutnya hanya meninggalkan rasa candu"

"Hari ini ulangan." Guru killer yang bernama Pak Agus itu, melontarkan kalimat yang membuat semua murid tercengang kaget.

"Lah pak, kok mendadak banget sih," protes Rana. Gadis yang sedikit minim kecerdasanya di bandingkan yang lain. Superaktif, lincah, dan kadang-kadang malu maluin teman-temanya. Dia berdiri dan melangkah maju ke depan, mengahmpiri Pak Agus yang juga menatapnya.

"Pak jangan ulangan dulu ya, besok aja ya pak," rayunya memelas pada Pak Agus, walaupun mustahil Pak Agus akan berkata "iya" pada Rana.

"Kamu pasti tau kan apa jawaban saya. Sekali tidak ya tidak," jawab Pak Agus tegas. Tapi Rana tak patah semangat. Kali ini dia harus berusaha keras untuk membujuk guru matematika satu ini agar berkata "iya" dan menunda jadwal ulangan. Demi apapun, Rana tidak belajar semalam. Jangankan belajar, membuka buku saja dia sudah malas.

"Rana, saya bilang tidak ya tidak. Sekarang kamu duduk. Dan isi kertas ulangan kamu!" perintah Pak Agus yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Nasib sial berkali-kali menimpa Rana ketika jam pelajaran matematika. Padahal sebelumnya dia sudah berjanji akan belajar, namun yang terjadi hanyalah omong kosong belaka.

"Sep, Septi!" panggilnya lirih pada teman yang ada di depanya. Septi menoleh dan mengangkat alisnya. "Lo hapal nggak rumus limit fungsi trigonometri?" Rana berbisik pada Septi. Septi adalah salah satu temanya yang encer dalam berpikir, apalagi masalah pelajaran matematika.

"Mau nyontek?" tebak Septi dan diangguki semangat oleh Rana.

"Ok sip, tapi nanti lo beliin bakso gue ya,"

"Siap, mau campur kikil nggak?"

"Iya dong, sama es cincau ya." Rana tersenyum puas dan mengacungkan dua jempol. "Nanti lo gue kasih kertas, tapi buru buru lo ambil ya." Rana mengangguk setuju.

Ulangan pun berlangsung, suasana kelas hening dan tenang. Tapi berbeda dengan Septi dan Rana yang sibuk menyobek dan saling melempar kertas ke arah satu sama lain. Pak Agus yang menyadari gelagat mereka melirik tajam dan berdehem. Dengan harapan mereka menyudahi aksi saling menyontek ini.

"Waktu kurang 5 menit lagi," ujar Pak Agus sengaja untuk menggertak mereka semua.

"Weh demi pasar minggu yang kagak bukak senin, ini tinggal lima menit." Rana menunjukan lembar jawaban yang masih tersisa 15 soal-soal yang mental, tidak masuk ke otaknya sama sekali.

"Kikilnya tambah nanti ya." Septi menyodorkan lembar jawaban nya ke arah Rana.

Dengan cepat Pak Agus menyobek kertas itu. Membuat Rana dan Septi menoleh.

"Eh bapak," bukanya malu, Rana malah cengar cengir sambil mengetuk ngetukan bolpoin ke atas meja.

"Wah pintar sekali ya Rana, nyontek kamu ya. Hebat sekali." Rana yakin, itu bukan pujian. Namun kata-kata yang menuju sebuah hukuman di bawah tiang bendera.

"Berdiri di bawah tiang bendera, sampai istirahat. Angkat satu kaki, pegang telinga kalian," bentak Pak Agus yang tidak memberi kesempatan pada mereka berdua untuk menjawab.

"Yah pak, pasti capek berdiri." Protes Rana yang sudah berdiri di susul dengan Septi.

"Berangkat sekarang atau mau yang lebih berat hah?"

"Iya Pak, berangkat ini ma," jawab Rana dengan lesuh.

Pandangan mereka berdua tertuju halaman luas yang terkena sengatan sinar matahari sangat terik. Mungkin jika di ukur, suhunya bisa digunakan memasak telur ceplok mata sapi. Dengan langkah yang malas dan gontai, Rana dan Septi melangkah menuju tengah lapangan. Belum saja lima menit mereka berdiri disini, dahinya sudah dipenuhi oleh keringat.

AKSARA (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang