21.|| KATA KITA

119 25 41
                                        

21. Kata Kita

"Jor! Nanti kalo mati gimana?" Raden berjongkok sambil mengecek detak nadi pria paruh baya di depanya yang baru saja dia pukul mengenakan kayu keras berukuran sedang tadi.

"Santai, kalo pun dia mati kan yang di penjara elo bukan gue," ujar Jordan santai. Matanya masih mengawasi pintu lalu bergantian menatap Rana yang masih sesunggukan. Tepat setelah Raden menghubungi Aksa tadi, dia juga menghubungi Jordan guna meminta bantuan. Tidak mungkin dirinya melawan pria itu  sendirian.

"Ran, udah jangan nangis. Lo udah aman," ujar Jordan menenangkan. Namun tetap sama, Rana belum meredakan isakanya. Hati Raden dan Jordan tersentil, seberat inikah kehidupan Rana? Tak pernah merasakan cintanya terbalas oleh Aksa, belum lagi sekarang dirinya sudah dijual oleh Langit, kakaknya sendiri.

"Kasep lama banget sih, udah setengah jam nggak nyampek-nyampek," gerutu Raden sebal.

"Emang lo yakin dia mau kesini?" Jordan mendengus pelan. Mana mungkin Aksa mau pergi ke tempat seperti ini. Dunia malam yang penuh dengan kemaksiatan. Sejak dulu,Aksa satu-satunya yang paling anti dengan beginian. Dirinya selalu menolak jika diminta Jordan untuk ikut bergabung, walaupun jawabanya tetap sama. Tidak.

"Den?" Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Nampak Aksa yang tengah berdiri menatap mereka. Pandanganya jatuh pada sosok gadis yang menekuk lututnya sambil terisak. Apa mungkin saking sedihnya hingga tidak menyadari kehadiran Aksa disini. Aksa tidak tahu betul apa yang telah terjadi tadi. Raden hanya memberitahu bahwa Rana ada disini bersama om-om, lalu mata Aksa juga menangkap seseorang yang telah terkulai lemas dan pingsan. Disampingnya ada sebuah kayu. Aksa yakin, yang memukul pria itu adalah Raden.

"Dia nggak berhenti nangis sep," adu Raden. Cowok itu merubah posisinya menjadi berada di samping Jordan. Aksa mengangguk, lalu mengulas senyum. Seolah berkata terimakasih. Dua temanya kini lebih memilih membopong pria itu dan membawanya ke atas sofa yang ada di dalam ruang karaoke.

"Ran!" Aksa menepuk halus pundak Rana yang bergetar. Dia tak tahu apa penyebabnya, tapi yang jelas Rana sekarang butuh tempat untuk bercerita. Begitu pikirnya. "Hei, tenang ada gue."

Rana mendongak. Sangat terlihat jelas jika kantung matanya sembab akibat terlalu lama menangis. Hidungnya memerah, dan menatap Aksa dengan sendu. "Aksa ngapain di sini?" tanya Rana sambil mengahapus air matanya. Gadis ini menyembunyikan rasa sedih dan pilunya.

"Ayo berdiri!" ajak Aksa halus. Otak Rana tak mengerti, apa yang sedang Aksa lakukan disini, dan apa yang cowok itu pikirkan. Kadang perilakunya sangat kasar, buruk, dan selalu menyakiti hati Rana. Namun sekarang menjadi berubah, perkataanya lemah lembut nan halus. Membuat pertahanan Rana runtuh.

"Minum dulu," ucap Aksa sambil mmeberikan sebotol air mineral. Setelah dirasa Rana mulai tenang, Aksa melontarkan pertanyaan, mengapa dirinya ada disini bersama pria itu. "Kenapa?"

Ran diam. Tanganya memutar tutup botol untuk menutupnya, matanya seolah mencari-cari sesuatu dari ujung ruangan ini. "Rana takut, Rana pengen pulang. Rana nggak mau disini," ujar Rana gelisah. Aksa paham betul itu.

"Lo ngapain disini?"

"Rana nggak tau, tadi dibawa sama om-om, katanya-" Rana menjeda kalimatnya begitu melihat Raden dan Jordan keluar dari ruangan kedap suara itu.

"Katanya apa?" desak Aksa menuntut.

"Katanya Rana dijual sama Langit," ucapnya sambil menunduk. Aksa saling pandang dengan Jordan dan Raden. Mereka semua prihatin dengan apa yang dialami Rana.

"Gue anter pulang, udah jangan nangis," ujar Aksa tulus. Lagi-lagi Rana terbawa perasaan dengan sikap manis Aksa padanya. Dia sangat baik, walau kadang-kadang suka menyakiti hatinya. "Jor, makasih bantuanya."

AKSARA (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang