9.|| KISAH DI PEKAN SENI

164 38 53
                                    

9. Kisah Di Pekan Seni

"PAK PAK ITU PAK YANG NGERUSAKIN PINTU TOILET!" teriak seseorang begitu lantang dari arah lapangan basket. Rana yang sedang berjalan bersama Septi dan Moddy dari arah koridor, berhenti lalu menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Tiara yang berdiri sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Disampingnya sudah ada guru olahraga. Sedang berkacak pinggang sambil mengeraskan rahangnya. Begitu jelas dilihat oleh Rana karena jarak mereka yang tak terlalu jauh.

"DASAR TUKANG NGADU!" Rana juga berteriak yang tak kalah kencang. Walaupun posisinya sekarang belum berpindah, tapi dia sedikit memiringkan badan agar bisa bertatap muka dengan Tiara.

"Sini-sini. Kamu kesini sekarang juga!" perintah guru bertrening biru laut dan putih itu. Rana berdecak sebal, walaupun begitu dia tetap berjalan ke arah lapangan. Matanya masih menyorot tajam Tiara yang dengan santai mendrible bola basket. Dengan keadaan rendah.

"Bukan saya pak yang ngerusak. Tiara sendiri yang ngrusak," papar Rana tak terima dirinya disalahkan.

"Loh-loh kok jadi gue sih, kan jelasnjelas yang terakhir disana kan elo. Kok lo lempar batu sembunyi tangan sih." Tiara juga tak terima dirinya ikut terseret kasus ini. Walaupun memang benar dirinyalah yang mendorong Rana hingga turhuyung dan berakhir mematahkan satu baut pengait pintu toilet.

"KAN GUE YANG JADI KORBAN, KENAPA LO YANG NYOLOT, HARUSNYA GUE DONG YANG MARAH!" ucap Rana menggebu.

"Heh heh, korban apaan? Jelas-jelas yang nabrak tu pintu kan lo Rana, jadinya tetep lo yang salah." Pak Susanto memutar jarinya di daun telinga. Seolah-olah teriakan dua siswi di depanya kini masih menyangkut dan menghambat masuknya suara-suara lain.

"Siapa yang suruh kalian berantem?" tanya Pak Susanto ketika dua orang itu sudah memerah padam. "Rana kamu lari puter- puter lapangan sebanyak sepuluh kali," ucap Pak Susanto sedikit menjeda. "Dan kamu Tiara, kamu juga lari puter lapangan sebanyak lima kali." Tiara yang tadinya tersenyum penuh kemenangan, akhirnya luntur. Mulutnya terbuka seolah tak terima jika dirinya juga diberi hukuman.

"Kok saya juga sih pak?"

"Tambah jadi sepuluh kali putaran." Tiara semakin resah dibuatnya. Tak mau berlama-lama di sini, Rana beranjak dan mengambil start di ujung lapangan. Mengapa dirinya tidak menolak? karena dia tau jika dia menolak hanya akan menambah-nambahi hukuman.

"Ran, kok lo mau sih suruh muter lapangan. Kan lo nggak salah," protes Septi yang berjalan berdampingan dengan Rana.

"Harusnya Tiara doang, nggak adil tu guru," celetuk Moddy ikut berkomentar. Melirik sedikit ke Pak Susanto

"Hus hus udah jangan ribet deh. Kalian tau kan pak Susanto kayak gimana. Bisa-bisa kalo gue nolak bisa nambah ni hukuman. Pinggang gue jadi tambah ramping," ujar Rana menunjukan pinggangnya yang memang begitu ramping diantara Septi dan Moddy. "Kalian tunggu gue di kantin, pesenin es teh gulanya dikit ya," perintah Rana pada Septi. Septi mengangguk lalu beranjak meninggalkan Rana.

Satu putaran
Dua putaran
Tiga putaran

Peluh dan keringat telah membasahi kening Rana. Rana yang memang memiliki penyakit sesak napas, mulai kehabisan napasnya. Tiara yang posisinya berada di belakang Rana tersadar dan menyalipnya.

"Woi kenapa lo?" tanyanya begitu melihat wajah Rana memerah.

"Ti ambilin inhaler gue dong di kelas." Rana memegang dadanya yang terasa sakit.

"Dih ogah emang gue babu lo apa, gak, gue mau lanjut lari," tolak Tiara sambil meninggalkan Rana yang masih berhenti di belakang nya.

"Aduh jangan pingsan dulu nanti aja pingsanya pas Aksa lewat biar ditolongin," monolognya sendiri yang sudah seperti orang gila. Dengan langkah yang sudah sedikit berkurang tenaganya, Rana melanjutkan hukuman itu sambil terus mengucapkan sumpah sarapah agar kali ini saja dia jangan pingsan dulu.

AKSARA (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang