Pertemuan

3.5K 258 15
                                    

Bayang-bayang masa lalu terus menghantui pikiran Oca. Wajah Devano berputar di otaknya seperti hantu kuyang yang menyeramkan.

Masih berbekas diingatan Oca, sumpah serapah yang Devano layangkan padanya saat terakhir kali mereka berjumpa. Tepat di hari ulang tahunnya, sebelum kelulusan sekolah.

"Gue bersumpah, apa yang terjadi hari ini akan gue balas dikemudian hari."

Dulu, mungkin Oca masih bisa tertawa mengabaikan ucapan Devano. Tapi sekarang? Entahlah, tiba-tiba ketakutan menggerogoti keberaniannya.

"Sayang."

Oca tersentak ketika sentuhan lembut dirasakan di tangannya. Oca yang sedari tadi tertunduk refleks mengangkat wajahnya, memandang wajah tampan Calvin. Oca tersenyum tipis, tak ingin membuat Calvin mencemaskan dirinya.

"Kamu sakit?" tanya Calvin, meremas jemari tangan Oca di atas meja.

Oca menggeleng. "Gak Kak, aku cuma sedikit lelah saja." Alibi Oca, ia tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya. Oca tak berniat mengungkit masa lalunya, masa lalu yang bahkan ia sendiri tak ingin mengingatnya.

Ya, masa lalunya bersama Devano bukanlah kenangan indah yang harus Oca ingat. Semua momen yang ia lalui dengan Devano hanyalah situasi penuh kebencian.

Oca benci Devano dan mungkin Devano pun sama membenci dirinya.

"Mama gak anter Oka ke sekolah?" tanya si kecil Oka, mulutnya belepotan selai coklat.

Oca menggeleng, mengelus puncak kepala Oka. "Biasanya juga sama Papa kan?"

Oka meletakkan potongan kuenya ke piring, wajahnya menatap sang mama. "Tapi Oka pengen dianter Mama."

Oca tersenyum tipis. "Sama Papa ya, nanti pulangnya janji mama yang jemput." Oca menunjukkan jari kelingkingnya ke depan Oka.

Oka tampak cemberut, tapi ia menautkan kelingkingnya. "Janji?"

"Janji." Oca tersenyum lebar, mengacak-ngacak jambul Oka.

"Yah, mama. Jambul Oka berantakan," gerutu Oka, merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan.

Oca terkekeh, melihat tingkah Oka sedikit mengalihkan pikirannya dari Devano.

Calvin terus memperhatikan Oca yang tengah menyiapkan bekal untuknya dan Oka. Meski Oca bilang baik-baik saja, tapi wajahnya tampak pucat.

"Ca." Panggilan Calvin membuat Oca mendongak.

"Ya?" Oca berlari menghampiri Calvin membawa dua totebag. "Jangan telat makan siangnya." Oca memberikan totebag-nya pada Calvin, lalu berjongkok di depan Oka. "Bekalnya di makan, jangan dikasih kucing lagi. Kalau dikasih kucing, besok mama gak bikinin bekal lagi."

Oka mengangguk, tersenyum tengil.

"Janji?" Oca menunjukkan jari kelingkingnya seperti biasa.

"Janji." Oka menautkan kelingkingnya, dalam hati ia terkikik geli. Oka bukanlah anak baik yang berpegang teguh dengan janji. Ia sering mengingkarinya dan Oca sudah paham akan kelakuan Oka.

"Inget ya, CCTV mama banyak. Kalau Oka ketahuan, motor Oka mama gadaiin."

Oka mendengus, kesal. Sepertinya kali ini ia akan memakan bekalnya, tidak lagi memberikannya pada Belly. Kucing liar yang sering Oka beri makan.

"Iya, Mama. Udah ya, Oka mau berangkat." Oka mencium pipi Oca. "Mama jangan lupa jemput Oka, nanti. Oka takut nanti ada nenek dugong lagi."

Oca mendengus geli, tahu siapa yang dimaksud Oka dengan sebutan nenek dugong. Tentu saja mama temannya yang kemarin bermasalah.

My Little WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang