Hari ini Oca sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Kondisi fisiknya sudah membaik, hanya saja ingatan Oca tetap belum pulih sepenuhnya. Oca masih menganggap dirinya Oca yang berumur delapan belas tahun.
Menghirup udara sore selepas hujan, benar-benar menyejukkan bagi Oca. Akhirnya dia terlepas dari kurungan ruangan rumah sakit dan bisa merasakan udara bebas. Oca sudah tidak sabar untuk memulai aktivitasnya.
Mobil yang dikendarai papa Oca berhenti di depan sebuah rumah besar, bahkan ini lebih besar dari istana Musdalifa.
"Sudah sampai Ca," kata mamanya memberitahu.
Oca keluar dari mobil, berdiri menatap rumah besar yang menjulang tinggi ke atas. Oca bengong sesaat, mengagumi rumah mewah bergaya klasik. Seperti perumahan di eropa.
"Ini rumah siapa Ma?" tanya Oca, menolehkan kepalanya ke samping. "Kenapa kita mampir ke sini? Kenapa gak langsung pulang aja?" Oca memasang ekspresi bingung.
"Ini rumah kamu, Ca. Ayo." Sang mama menarik lengannya, namun Oca menahannya.
"Seingat Oca ini bukan rumah kita. Apa Papa beli rumah baru?" Oca beralih menatap papanya yang baru saja keluar dari mobil. "Gak mungkin, Papa kan cuma pensiunan tentara. Mana mungkin bisa beli rumah sebesar ini."
"Nanti papa jelasin di dalam, sekarang kita masuk dulu." Papa merengkuh bahu Oca, membawanya masuk.
Oca menurut, meski dakam hatinya terus bertanya-tanya. Rumah siapa ini sebenarnya? Lalu, kenapa dia harus dibawa ke sini? Apa mungkin rumah saudara papa sama mama? Dengan cepat Oca menepisnya. Tidak mungkin, Oca hapal betul semua saudara papa dan mamanya. Mereka semua tidak ada yang memiliki rumah semegah ini. Hingga suara bass menginterupsi Oca, membuatnya menoleh dan tercengang seketika.
"Kalian sudah datang." Calvin berjalan menghampiri, didampingi Oka di sisinya.
"Mama," seru Oka saat melihat Oca, dia melepas genggaman tangan Calvin lalu berlari memeluk Oca yang mematung di depan pintu.
What the hell!
Kesadaran mengambil alih, Oca lantas mendorong Oka sampai bocah itu terjatuh.
"Oca!" pekik mamanya.
"Oca!" Papanya ikut menghardik Oca, tindakan Oca sudah keterlaluan.
"Mama." Oka menangis, tak menyangka akan didorong dengan kasar oleh mamanya.
Calvin tak bereaksi atas tindakan Oca. Dia lebih memilih berlutut di depan Oka, membantunya bangun. "Oka gak papa? Ada yang sakit?" Oka mengangguk. "Mana yang sakit?" tanya Calvin.
"Di sini." Oka memegang dada sebelah kirinya.
Calvin terdiam, dadanya sesak mendengar jawaban Oka. "Maafin mama ya, mama gak sengaja. Mungkin mama masih kaget, Oka denger kan kalau Dokter bilang mama masih belum sembuh. Masih sering kumat," ucap Calvin menenangkan, tangannya mengusap air mata yang keluar membasahi pipi Oka.
Oka mengangguk. Berusaha meredam tangisannya. Matanya bergerak melirik Oca yang memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah enggan melihat Oka.
"Oca kamu apa-apan si? Dia anak kamu, kenapa kamu sekasar itu sama Oka?" geram papanya.
"Papa, harus berapa kali Oca bilang. Dia bukan anak Oca. Lagian Oca mana mungkin punya anak seperti dia!" Oca menunjuk Oka. Namun detik berikutnya Oca meringis, merasakan pipinya memanas. Papanya baru saja menampar Oca.
"Pa, kendalikan emosi kamu," ucap mama Oca.
"Gak bisa Ma, anak itu sudah keterlaluan!"
Oca diam, menelan kekesalannya. Dia tahu betul sifat papanya yang emosian dan diktator. Sebab itu Oca tak melawan dan ini semua gara-gara bocah sialan itu. Oca menatap sengit Oka yang bersembunyi di balik punggung Calvin. Suara bariton kakeknya membuat Oka ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Wife
RomanceTujuh tahun menjalani bahtera rumah tangga, nyatanya tak membuat Oca berubah. Meski dia sudah punya ekor satu, Oca masih sama seperti gadis berumur delapan belas. Menolak tua! Meski begitu tak membuat rasa cinta Calvin luntur, walaupun Oca masuk kat...