Oka baru saja keluar kelas saat melihat sang mama berlarian seperti dikejar setan. Wajahnya nampak tegang, sesekali mamanya akan menoleh ke belakang. Entah apa yang membuat mamanya sampai setakut itu?
Aneh!
Oka mengernyitkan dahinya, merasa heran dengan sikap mamanya. Setahu Oka, tak ada apapun yang ditakuti oleh sang mama. Kecuali satu, kakek. Ya, hanya kakek yang mamanya takuti. Bahkan sama papa saja mama berani.
"Mama," panggil Oka ketika Oca menoleh ke belakang.
Mendengar suara Oka, refleks Oca melihat ke depan. Oca berusaha tenang, karena ternyata Devan tidak mengejarnya. Beruntung Oca bisa mengendalikan diri, entah apa yang akan terjadi jika dirinya masih berada di sana bersama dengan Devan.
"Mama, are you okay?" Oca tersentak, ia segera mengangguk lalu berjongkok di depan Oka. "Mama kenapa? Ngeliatin apaan si kok nengok ke belakang mulu?" tanya Oka yang penasaran, pasalnya Oca masih celingukan ke belakang.
"Gak kok, gak ada apa-apa," kata Oca. "Laper gak? Makan yuk."
Mendengar kata makan Oka langsung kegirangan, karena ia memang sudah lapar. Saat jam istirahat tadi Oka tidak memakan bekalnya, ia memberikannya pada Luna dan teman barunya. Oka tidak suka sayur dan mamanya malah membawakan Oka bekal sandwich.
Oca bernapas lega, setelah mobilnya keluar dari gerbang sekolah Oka. Sejak tadi napasnya terus memburu, membayangkan wajah Devan tadi membuat kepala Oca dilanda pening.
Devan jelas sudah berubah, bukan lagi ABG labil seperti dulu. Tapi entah kenapa Oca bisa merasakan lewat sorot mata pria itu, jika dia masih memendam kebencian pada Oca. Bayangan kejadian masa lalu kembali berputar di kepalanya.
"Lo cuma jadiin gue taruhan?" Suara Devan memburu, matanya berkilat penuh amarah.
Untuk pertama kalinya Oca ketakutan saat melihat seseorang marah. Ia sadar memang ini murni kesalahannya. Gara-gara permainan turth or dear yang dilakukannya bersama ketiga temannya, Oca harus berakhir seperti ini.
Memang bukan mau Oca menjadikan Devan sebagai taruhannya, tapi apa boleh buat ini semua rencana Gilang dan Alfi. Mereka tahu jika Devan dan Oca bukanlah manusia yang bisa akur, tapi siapa sangka jika Devan akan menerima pernyataan cinta Oca waktu itu.
Tapi sialnya, kini semua fakta justru terbongkar gara-gara mulut sialan Siska.
"Jawab!!" bentak Devan.
Aura mencekam menyelimuti koridor kelas yang sudah sepi. Hanya ada Oca seorang diri.
"Jawab atau gue bakal ...." Devan mencengkram kerah seragam Oca, menyudutkannya ke dinding. Ia sengaja menggantungkan ucapannya, menyeringai di depan Oca.
Sangat menyeramkan!
"Mama awas!!!" Teriakan Oka yang begitu lantang menghempas paksa Oca dari lamunannya.
Oca yang melihat mobil di depannya spontan menginjak rem, tapi sialnya terlambat. Mobil Oca menabrak mobil di depannya, hal itu membuat kecelakaan beruntun di lampu merah. Asap mengepul keluar dari kap mobil Oca, sementara Oca tak sadarkan diri ketika kepalanya membentur stir mobil.
——————————
Alfi duduk di ruang tunggu, di pangkuannya ada Oka yang sudah terlelap. Dipandanginya wajah polos itu, Alfi meringis melihat pelipis Oka diperban.
"Pasti sakit banget," gumam Alfi, mengusap lembut kening Oka.
Alfi menghela napas berat, menatap nanar lantai rumah sakit. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Satu jam yang lalu, Alfi menerima telepon dari Oca. Namun ketika ia mengangkatnya, tangisan Okalah yang pertama kali menyambut.
Bocah itu menangis histeris, suaranya bergetar diiringi isakan pilu memanggil mamanya yang tak sadarkan diri. Alfi jelas panik, ia segera datang ke lokasi kejadian. Kebetulan memang tak jauh dari tempatnya.
Harusnya mereka meet up di mall, tapi kini justru berakhir di rumah sakit. Alfi tahu betul kalau Oca memang suka ugal-ugalan saat membawa mobil, tapi ia juga paham Oca tak akan membawa mobil dengan kecepatan di atas rata-rata ketika membawa Oka bersamanya. Bagi Oca, keselamatan Oka adalah prioritasnya.
Suara ketukan sepatu mengalihkan atensinya. Alfi menoleh, melihat Calvin berlari tergesa-gesa, diikuti dua pria di belakangnya. Mereka, Alfaro dan Gilang. Alfi memang memberitahu mereka, ia bingung dan panik tadi.
"Fi, Oca gimana?" tanya Calvin saat tiba di depan Alfi. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir, Calvin pasti mencemaskan istrinya.
Alfi menarik napas kuat-kuat, mengembuskannya secara perlahan sebelum akhirnya berkata, "Oca masih di ruang operasi."
"Apa separah itu?" sahut Alfaro.
Alfi menganggukkan kepalanya. "Kepalanya bocor, dia juga kehilangan banyak darah karena proses evakuasi yang berjalan lambat."
"Terus Oka?" Calvin tiba-tiba teringat jika Oca bersama dengan Oka, lalu bagaimana nasib anaknya?
"Cuma luka dikit." Alfi mengedikkan dagunya ke pangkuannya, di mana Oka tengah tertidur pulas.
"Syukurlah." Calvin bernapas lega, setidaknya melihat Oka baik-baik saja mengurangi rasa sesak di dada. "Maafin papa, Nak. Baru bisa datang." Calvin membelai lembut kepala Oka. Tak ingin sampai mengusik tidurnya.
Derap langkah kaki kembali terdengar, membuat mereka refleks menoleh bersamaan. Calvin bangkit saat melihat kedatangan orangtua dan mertuanya. Mereka tampak cemas.
"Calvin, gimana keadaan Oca? Dia gak papa kan? Oca baik-baik saja kan?" Mama Oca memberondongnya dengan banyak pertanyaan, yang bahkan Calvin sendiri belum tahu jawabannya.
"Oca masih di ruang operasi Ma," ucap Calvin memberitahu.
"Kamu yang sabar ya, Nak." Mamanya menghambur memeluk Calvin. "Oca pasti baik-baik saja." Calvin mendekap erat mamanya, berusaha kuat meski sejujurnya ia sangat rapuh.
Bagaimana jika Oca kenapa-kenapa?
Calvin belum siap ditinggalkan. Lalu, Oka?
Calvin benar-benar takut, jika hal itu terjadi. Entah akan seperti apa hidupnya tanpa Oca. Seburuk apapun Oca, dia tetap satu-satunya wanita yang Calvin cintai. Entah akan seperti apa kehidupannya jika tanpa Oca.
"Ma, Oca ...." Calvin tercekat, ketika suara pintu terbuka menginterupsi.
Calvin melepas pelukan mamanya, menoleh ke pintu ruang operasi. Dua orang Dokter keluar dari ruang operasi. Calvin segera mendekat ke Dokter itu.
"Dokter bagaimana?" tanya Calvin.
"Operasinya berjalan lancar, tapi karena cedera di kepalanya yang begitu parah membuat pasien belum sadarkan diri," terang salah satu Dokter.
"Maksud Dokter koma?" serah Calvin.
Dokter menghela napas berat, menatap prihatin Calvin. "Kita lihat saja perkembangan ke depannya, semoga ada mukjizat untuk pasien."
Calvin terjatuh, terduduk di atas lantai. Kakinya gemetar tak mampu menopang berat tubuhnya. Dunia serasa hancur, semuanya menjadi gelap.
Oca ....
"Kak Calvin!"
"Calvin!"
Semua orang panik ketika Calvin mulai tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Wife
RomanceTujuh tahun menjalani bahtera rumah tangga, nyatanya tak membuat Oca berubah. Meski dia sudah punya ekor satu, Oca masih sama seperti gadis berumur delapan belas. Menolak tua! Meski begitu tak membuat rasa cinta Calvin luntur, walaupun Oca masuk kat...