Calvin tersentak dari tidurnya, alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamar yang gelap. Belum sadar sepenuhnya dering ponsel berbunyi nyaring, memaksa mata Calvin terbuka lebar. Tangannya menggapai nakas, mematikan alarm lalu meraih ponselnya.
"Halo," ucap Calvin saat sambungan telepon diangkat, bersambut dengan suara mamanya dari seberang telepon. "Oh, Oka. Iya nanti aku antar dia ke sekolah ... hm." Calvin hanya bergumam mendengarkan mamanya yang cerewet memberitahu beberapa keperluan Oka yang harus Calvin persiapkan. Karena hari ini Oka ada karya wisata.
"Iya, Ma. Kalau gitu udah dulu Ma, Calvin harus bangunin Oka. Udah jam setengah tujuh soalnya." Mata Calvin melirik jam di nakas. "Iya, Calvin gak lupa ... iya." Setelah selesai, Calvin mematikan sambungan telepon, kemudian meletakkan kembali ponselnya ke nakas.
Calvin akan beranjak bangun, namun sesuatu di atas paha menyita perhatiannya. Sebuah foto album yang setiap malam Calvin lihat agar bisa terlelap, lalu tidur mendekap erat foto album itu. Meanggap foto album itu Oca, karena di dalam foto album berisi kumpulan foto-foto Oca yang sengaja Calvin abadikan dari pertama mereka menikah.
"Buat apa foto-foto itu?" tanya Oca saat melihat Calvin memasukkan banyak foto dirinya ke buku album.
"Biar aku gak kesepian kalau pas ke luar kota sendirian, jadi tetap ada yang bisa aku peluk."
Calvin tersenyum kecut saat mengingat percakapannya dulu dengan Oca. Air matanya tanpa bisa dihalau jatuh membasahi pipi. Calvin mengusapnya dengan cepat, tapi rasa sesak kembali menyerbu setiap kali mengingat keadaan Oca.
Sudah seminggu lebih semenjak Oca sadar dan dia tetap belum mengingat apa pun tentang dirinya dan Oka. Bahkan Oca sering menghindar, selalu pura-pura tidur setiap kali Calvin datang menjenguk.
Calvin menghela napas kasar, meletakkan album foto ke nakas lalu beranjak turun dari ranjang. Calvin segera menuju ke kamar Oka.
"Oka, bangun ...." Calvin tercekat saat membuka pintu kamar Oka dan tak mendapati Oka di dalamnya. "Oka," panggil Calvin, masuk ke kamar. Tak ada sahutan, tapi terdengar suara gemericik air di kamar mandi. "Oka, kamu di dalam?"
"Hm." Terdengar sahutan dari dalam kamar mandi.
Calvin membuka pintu kamar mandi, terdiam saat melihat Oka berbalik menghadapnya. Bocah itu menyipitkan matanya karena terhalang busa-busa yang memenuhi wajahnya.
Calvin menghela napas panjang, melangkah masuk. "Kenapa gak bangunin papa?" tanya Calvin, segera membasuh wajah Oka dengan air mengalir dari shower.
"Oka kan mau belajar mandiri Pa, mandi sendiri," jawab Oka dengan polos, mengusap wajahnya yang terkena bilasan air. "Kalau Oka berubah jadi mandiri, pasti mama gak marah lagi. Mama juga pasti mau ketemu Oka." Dada Calvin terasa nyeri mendengar penuturan Oka. "Oka kangen mama, Pa."
Calvin tersenyum tipis, menyembunyikan kesedihannya. "Nanti kalau mama udah sembuh, mama bakal pulang ke rumah. Sekarang selesaikan mandinya, kamu gak boleh telat nanti ketinggalan bus wisata."
Oka mengangguk, wajahnya kembali ceria dengan riang Oka menceritakan pada Calvin apa saja yang akan Oka kunjungi selama karya wisata ke beberapa tempat.
—————
Calvin turun dari mobil, menyusul Oka yang sudah berlari menghampiri Luna.
"Oka, ini tasnya." Oka menoleh, mengambil tas yang Calvin berikan. "Ingat pesan papa, kamu gak boleh nakal. Oka harus dengerin apa kata bu guru, bekalnya juga jangan lupa dimakan." Oka mengangguk patuh, mengangkat tangannya ke pelipis.
"Siap Papa Bos."
Calvin mendengus geli mendengar jawaban Oka. "Jagoan papa pinter." Tangannya gemas mencubit pipi Oka. "Kalau gitu papa berangkat kerja ya." Oka menganggukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Wife
RomanceTujuh tahun menjalani bahtera rumah tangga, nyatanya tak membuat Oca berubah. Meski dia sudah punya ekor satu, Oca masih sama seperti gadis berumur delapan belas. Menolak tua! Meski begitu tak membuat rasa cinta Calvin luntur, walaupun Oca masuk kat...