7. Gara-gara Spanduk

34 18 33
                                    

Happy reading
.
.
.
Sudah seminggu sejak insiden bakso bulat tertelan dadakan, Odele selalu menghindar dari Gavin. Jika tidak sengaja berpapasan di kantin atau di tangga, Odele tidak akan melirik sedikitpun pada Gavin, seolah-olah laki-laki itu makhluk tak kasat mata. Odele juga mendapat pesan WA Gavin, tanpa membaca chatnya nomor Gavin langsung ia blokir. Beberapa kali Odele pernah menemukan bunga mawar pink di mejanya, tapi langsung diberi ke Buk Yayuk. Pastinya Buk Yayuk merasa senang mendapat mawar pink.

“Wah ada coklat, dari Gavin lagi?” tanya Casya saat Odele menggenggam coklat yang berasal dari laci.

“Lo belum maafin Gavin ya?”

Odele tersenyum miring. “Setelah dia hadir lagi di hidup gue semua berubah, gue jadi apes banget. Gue juga hampir mampus karena keselek bakso. Gue nggak bisa dong maafin dia gitu aja.”

“Tapi itu semua kan enggak sengaja, Del.”

Odele mengangkat bahu lalu berjalan ke luar kelas. Ia mengintip ke bawah, mencari seseorang di lantai satu.

“Baron,” Odel memanggil Baron yang kebetulan lewat.

Baron menengadah. “Pagi-pagi udah disambut sama Dek Odele. Kangen banget ya sama abang?”

Odele memutar bola mata. “Lo mau coklat?”

“Ada apa nih, ini kan empat belas Juli, valentine bukannya Februari?”

Odele berdecak mengangkat coklatnya. “Mau nggak nih?”

Baron merentangkan tangannya lebar-lebar. “Sini lempar coklatnya, gue tangkap. Sekalian dek Odele juga lompat kalo mau abang tangkap.”

Dengan cepat Odele melempar coklat dan berhasil ditangkap Baron dengan mulus.

“Itu dari temen lo yang hampir buat gue mati karena keselek bakso, bilang nggak usah ngirim apa-apa lagi. Gue muak.”

Casya menyusul Odele, menepuk pundak sahabatnya itu. “Udah yuk, kita ganti seragam olahraga. Pak Adi nyuruh ngumpul di lapangan.”

Sebelum masuk, Casya melirik Baron yang masing cengengesan. “Bang Baron yang  tampannya kebangetan, bilang sama Arsen dapat salam dari Casya yang cantik dan manis.”

Baron mengacungkan jempolnya. “Itu mah gampang, buat Casya bulan pun abang ambilkan.”
***

Baron masuk ke dalam kelas dengan wajah berseri, pagi-pagi belum sarapan karena terlambat bangun, tiba-tiba ada cewek cantik melemparkan coklat dari lantai dua. Ia mendapati Gavin tertegun menyaksikan kedatangannya, sedangkan Arsen sama sekali tidak peduli, ia malah berkutat dengan laptopnya mengedit foto tugas ekskul.

“Mira mana?” tanya Baron.

“Sakit,” jawab Arsen tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.

“Gue kenal deh sama ini coklat,” ucap Gavin merampas makanan manis yang sudah menjadi milik Baron.

Baron meletakkan tas lalu duduk di bangku Mira yang kosong.

“Jelaslah lo kenal, itu dari Odele. Dia masih marah sama lo. Gue baru sadar itu cewek ternyata batu banget.”

Arsen menutup laptopnya kemudian memutar tubuhnya bergabung dalam percakapan Baron dan Gavin.

“Wajar sih marah, apes terus dianya. Emang lo ada hubungan apa sama dia?”

“Gue pernah nembak dia.”

“Beneran? Ternyata lo lebih dari sekedar temen SMP?” pertanyaan bertubi- tubi dari Baron.

“Dia cinta pertama gue, tapi dia nolak gue.”

“Kok bisa?,” ucap Baron.

Arsen terkekeh melihat kekecewaan Gavin. “Udah ditolak sekarang malah itu cewek setengah batu ngambek.”

Gavin menghela nafas menyadari kesalahannya. Sedetik kemudian senyum jahil kembali terbit di bibirnya. Arsen langsung membuang muka, ia takut ide gila muncul lagi di kepala Gavin.

“Sekarang lo bantu gue ya,” bujuk Gavin.

Baron mengangguk antusias, ia memang sangat cocok untuk menjadi partner in crazy Gavin. Kedua orang itu saling bertukar pandang melihat Arsen memakai headset.

“Ar, ayo dong ikutan,” Baron menepuk pundak Arsen.

Tanpa menoleh sama sekali, Arsen menggeleng keras.

Gavin memutar otak, mencari umpan untuk mengajak Arsen. “Ayolah bro. Kebetulan anak IPA satu lagi olahraga, pasti ada Yuna di sana. Sekalian lo Te-Pe Te-Pe.”

“Ada dek Hana gue dong di lapangan,” potong Baron.

Arsen melepaskan headsetnya. “NO, tobat gue ikutan sama ide gila lo berdua.”

Gavin dan Baron serentak mengerucutkan bibirnya, jika Arsen benar-benar menolak, maka mereka berdua yang akan turun tangan dalam aksi nekad kali ini.

“Emang kita mau ngapain bro?”

Gavin tidak menjawab, ia menunjuk sesuatu yang tersimpan di lacinya. Baron langsung paham dengan rencana Gavin. Mereka memang cocok menyandang gelar setengah tidak waras dari Odele.
***

Di tengah lapangan, seluruh murid kelas sebelah IPA satu sedang melakukan pemanasan yang dipimpin oleh Pak Adi, guru yang meraih nominasi guru paling kece dan tempan di SMA Tunas Bangsa. Odele dan teman-temannya meliuk-liukkan tubuh mereka melakukan salah satu gerakan hip opener dalam istilah olahraga.

“Sekarang kalian semua tarik nafas dalam-dalam,” pinta Pak Adi.

Semua menurut, mereka menarik nafas lalu mengikuti semua instruksi pak Adi.

“Cukup, sekarang bentuk barisan. Dalam hitungan ketiga kalian semua berlari keliling lapangan, siap?”

“Siap Pak,” jawab semua muris dengan semangat.

“SATU, DUA, TI…”

Tunggu dulu, Pak,” Roni sang ketua kelas memotong aba- aba Pak Adi.

“Ada apa Roni?”

Roni menunjuk sebuah spanduk yang sudah berkibar di di lapangan volly. Dua orang berdiri di sisi net yang menjadi tempat spanduk.

“Bukannya itu Gavin dan Baron, anak IPS?” tanya Pak Adi.

“Wahh romantis banget.”

“Gavin sweet banget.”

“Yaampun kalau gue jadi Odel, langsung gue terima.”

“Udah ganteng, manis, cute lagi.”

Mendengar namanya disebut- sebut, Odele yang berdiri di barisan belakang berusaha maju melihat apa yang sedang terjadi. Matanya membulat melihat Gavin tersenyum menunjuk spanduk dengan tulisan, ‘ODELE AMANDA I LOVE YOU’.

“Del, maafin aku ya, I love you,” teriak Gavin sambil membentuk lambang hati dengan jarinya.

“MAAFIN… MAAFIN…MAAFIN!!!”

Seluruh murid kelas sebelas IPA satu berteriak mengundang beberapa guru keluar dari kelas diikuti oleh siswa yang lainnya. Odele menunduk pasrah, hukuman pasti sudah menunggunya.

Hana menyikut lengan Odele. “Sabar ya, Del.”

“Sudah tenang semua atau bapak akan hukum kalian satu kelas,” Pak Adi berusaha mengebalikan situasi menjadi kondusif.

“Odele Amanda.”

Odele mendongak, ia sedikit terkejut ternyata ia sudah berhadapan dengan Pak Tua.

“Kamu ikut bapak ke kantor.”

Odele tertegun, otakknya belum sepenuhnya mencerna ucapan Pak Tua. Benarkah Odel kembali menghadap ke kantor kepala sekolah, Odel hanya bisa mendengus sebal.
.
.
.
Selamat malam nih semua. Gimana nih ceritanya, udah suka belum? Kalo udah baca terus ya, kalo belum ya pelan pelan aja, cinta kan enggak bisa dipaksa. Hahahah apaan sih, mulai halu deh kayaknya nih. Okedeh, cuma mau bilang see you on the next chapter 😍

Before Empat Belas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang