Happy reading ❤
.
.
.
Seorang gadis melirik jam tangan berwarna merah muda yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia menghela nafas lega, masih ada lima belas menit lagi sebelum bel berbunyi. Namun kerinduan akan sekolah memaksanya untuk mempercepat langkahnya. Pasalnya selama dua hari setelah libur selesai ia tidak dapat hadir ke sekolah karena ada urusan penting. Ia memasuki kelas sebelas IPS dua yang akan menjadi kelasnya.“Dek Mira, lo udah sekolah?” Baron mengundang perhatian murid lain.
“Kemana aja sih, Mir?” tanya Arsen datar seperti biasa.
“MIRAAA!!!” teriak Wanti penghuni bangku paling ujung.
“Yes Mira kunci jawaban kita udah masuk.”
“Yaelah kok bisa sih lo nggak masuk selama OSPEK, Mir?”
Gadis bernama Mira itu tersenyum dengan sambutan teman-temannya. Ia masih berdiri di depan meja Baron, matanya mencari bangku yang masih bisa ia tempati. Baron manusia paling peka yang pernah ada di muka Bumi sangat paham isi kepala Mira.
“Dek Mira, duduk di sini aja,” Baron menunjuk bangku kosong di sebelah Gavin.
Mira melirik Gavin lalu menoleh Baron seolah-olah bertanya.
“Murid baru, Mir.”
Mira mengangguk, ia melangkah mendekati Gavin. “Halo salam kenal, aku Miranda, panggil Mira aja.”
“Hai, gue Gavin Tristan, panggil apa aja terserah, asal jangan panggil sayang,” Gavin memperkenalkan diri disambut tawa dari Mira.
Suasana kelas tiba- tiba hening menyadari kedatangan Pak Arifin guru Matematika paling kejam. Pak Arifin terkenal sangat sadis di kalangan murid, ia tidak segan memberi tugas seribu soal untuk seminggu, jika tidak selesai maka bersiaplah menerima nilai F di rapor bulanan.
“Selamat Pagi,” sapa pak Arifin dengan nada ketus.
“PAGI PAK…”
“Buka bukunya halaman tiga….”
Pelajaran berlanjut selama dua jam. Baron yang tidak memiliki minat sama sekali mempelajari materi statistika dan peluang berusaha mati-matian menahan matanya agar tetap fokus. Untung saja bel istirahat pertama menyelamatkan mereka sekelas.
“Jadi untuk tugas pertama kalian, kerjakan soal nomor satu sampai dua ratus lima puluh, dikumpul besok pagi.”
“BAIK PAK…”
Semua murid menjawab serentak, padahal jauh di lubuk hati mereka, tidak ada yang ikhlas menerima tugas menumpuk, dua ratus lima puluh soal dalam semalam bukan lelucon.
“Ke kantin yuk, perut gue laper banget,” ajak Arsen pada Baron dan Gavin.
“Aku ikut ya,” Mira menaik-naikkan alisnya.
“Apa sih yang enggak buat cewek cantik,” jawab Baron.
Gavin memegang perunya, wajahnya juga pucat. “Gue nyusul ya. Mau ke toilet dulu, mual gue sama pelajaran Pak Arifin, sumpah puyeng.”
***“Lo kemarin diapain sama Gavin?”
“Iya, lo hampir nangis lho.”
“Itu anak emang iseng banget, tapi so sweet sih.”
Odele menuang sambal sangat banyak ke dalam mangkuk baksonya tanpa menghiraukan ocehan dari ketiga sahabatnya. Cacing- cacingnya sudah demo setelah pelajaran pertama membahas senyawa hidrokarbon.
“Kok dicuekin sih?” Yuna menyikut Odele.
Odele menyendok kuah baksonya. Merasa kurang pedas, ia kembali menuang saos. “Gue kesel aja, gue baru pertama kalinya dihukum padahal gue nggak salah. Gue juga udah punya citra yang buruk di depan anak kelas sepuluh. Gue malulah pokoknya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Empat Belas
Fiksi Remaja[ON GOING] Odele Amanda, siswa kelas 11 SMA IPA yang manis dan berprestasi namun memiliki kepala sekeras batu dan hati yang super gengsian. Ia berjanji akan menerima pernyataan cinta dari orang keempat belas yang menyatakan perasaan padanya. Kenapa...