Happy reading ❤
Pak Arifin mengumumkan tugas untuk besok adalah mengerjakan seratus soal. Setalah mengakhiri kelas dengan tugas menumpuk Pak Arifin keluar dari XI IPS 2. Beberapa murid laki-laki langsung melarikan diri ke kantin. Murid cewek sibuk merapikan dandanan sebelum ke luar kelas. Gavin memasukkan buku paket ke dalam tas lalu mengeluarkan buku Geografi. Masih ada tugasnya yang belum selesai.
“Pada nggak ke kantin nih?” tanya Mira.
Arsen membuka laptopnya. Dia memilih istirahat di dalam kelas. Ada tugas dari fotografi yang sudah deadline.
“Gue nitip aja deh, Mir. Boleh ya?”
Baron mengangguk. Dia juga harus mengejar deadline. Padahal perutnya sudah keroncongan tapi dia harus merancang konsep pemotretan buku tahunan.
“Iya, Mir. Nitip bakso sama teh manis dingin dong.”
Mira tersenyum lembut. “Ya udah aku beliin.” Mira menoleh ke sebelahnya. Gavin sibuk membolak-balik buku pelajaran. “Gavin, kamu mau pesan apa?”
Gavin melirik Mira sekilas. “Enggak usah deh.”
Mira menarik nafas pelan. “Ntar asam lambung kamu naik. Aku beliin roti aja deh buat kamu.”
Gavin mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti Mira dengan membantah gadis itu. “Oke makasih Mira.”
Mira meninggalkan kelas. Selepas kepergian Mira, Baron mengalihkan pehatiannya dari laptopnya. “Vin, lo ngerasa nggak Mira perhatian banget sama lo?”
Gavin berhenti menulis. Mira itu baik dan lembut. Tapi sifatnya itu untuk semua orang bukan hanya untuk Gavin.
“Mira baik ke semua orang.”
Baron memukul meja. Tiba-tiba dia menyikut Arsen sehingga Arsen memandangnya kesal. “Ar, lo ngerti kan maksud gue?”
“Enggak.”
Gavin terkekeh sedangkan Baron berdecak ksal. Reaksi Arsen tidak sesuai dengan harapannya. Dia menekan keyboard laptop sembarangan sambil bersungut-sungut.
“Gue rasa si Mira naksir Gavin.”
Arsen menoleh ke belakang. Gavin menaikkan alis sekilas lalu kembali melanjutkan menulis tugasnya.
“Gue sebenarnya ngerasa sih,” ujar Arsen.
Baron merasa bangga. Dia menepuk pundak Arsen. “Baru kali ini lo ngebelain gue, Ar. Sumpah gue terharu.”
Gavin menutup bukunya. Pikirannya jadi bercabang karena Arsen dan Baron. “Kenapa lo berdua yakin banget?”
Baron melirik ke luar kelas. Belum ada tanda-tanda kedatangan Mira. Baron memutar sedikit kursinya mengahadap Gavin.
“Karena perhatian Mira ke elo beda Vin. Lagian nih ya, daripada lo nungguin Odele yang ngga peka mending Mira. Walaupun Odele lebih cantik terus lebih energik tapi Mira baik banget lho.”
Gavin menarik nafas dalam-dalam lalu mengehmbuskan pelan-pelan. “Ini bukan masalah lebih cantik siapa, Ron. Ini masalah hati.”
“Tapi Odele itu keras banget hatinya. Dia juga sukanya sama abang lo. Lo sendiri yang bilang kalo mereka sering jalan bareng. Terus lo juga saingan sama si Reno calon ketos.”
Gavin tersenyum. Baginya, selagi Odele dan Rayn belum jadian, masih banyak kesempatan. Untuk urusan saingan dengan Reno, Gavin tidak pernah gentar sedikitpun. Gavin yakin Reno bukan tipe Odele.
“Lo kok malah senyum sendiri sih?”
“Gue tiba-tiba ingat teori batu.”
Arsen menutup laptopnya. Semua urusannya sudah selesai. Dia memutar bangku menghadap Gavin. “Emang batu kenapa?”
“Batu sekeras apapun, jika ditetesi air terus menerus, maka batunya pasti pecah juga. Intinya kalo gue kerja keras dapetin Odele, pasti hasilnya nggak sia-sia.”
Baron menganggukkan kepalanya sambil mengusap dagu. “Mudah-mudahan deh teori lo berhasil. Tapi saran gue sih, lo lirik Mira.”
Belum sempat Gavin berkomentar, Mira sudah muncul membawa beberapa ungkuran di tangannya. Dia meletakkan pesanan Arsen dan Baron di hadapan mereka.
“Makasih Dek Mira. Bang Baron makin seneng deh sama Dek Mira.” Mira hanya tersenyum menganggapi Baron.
“Thanks Mir,” ucap Arsen.
Mira mengacungkan jempol. Dia mengeluarkan roti keju dan air mineral. “Vin, makan dulu ya.”
Gavin menerima pemberian Mira. Diam-diam dia memperhatikan Mira. Gadis itu berwajah lembut, tutur katanya sopan, dan kelakuannya juga baik. Gavin juga sebenarnya merasa kalau Mira ada rasa padanya tapi Gavin langsung membuang pikiran itu. Dia tidak mau terlalu bawa perasaan.
“Mir,” panggil Gavin.
“Iya Vin?”
“Makasih ya.”
Mira tersipu. Gavin hanya mengucapkan terimakasih tapi hatinya malah cenat-cenut tidak jelas. Kebahagiaan Mira hanya sebentar. Di ambang pintu, Odele ditemani Hana berdiri menenteng sebuah laptop. Kedua gadis itu memasuki kelas.
“Dek Hana gue. Ada apa nih?” Baron langsung menutup laptop menyambut kedatangan Hana padahal cewek itu tidak merespon sama sekali.
“Ar, ini nih konsep yang udah gue edit. Gimana saran lo?” Odele meletakkan laptopnya di depan Arsen. Odele melirik Mira lalu mereka saling senyum. Gavin ikut-ikutan senyum, Odele malah menjulurkan lidah.
Arsen melihat hasil kerja Odele. “Bagus gue suka. Ntar pulang sekolah tinggal kita ajuin ke Kak Prabu deh.”
Baron menunjukan hasil kerjanya. “Ini bagian gue. Nanti gue jadi pengarah gaya aja deh. Biar lo aja yang foto, Del. Ntar editornya kita percayakan ke Arsen.”
Odele melirik Arsen. Sepertinya Arsen tidak keberatan. “Boleh Ron. Gue setuju.” Odele menyerahkan notes kecil ke Baron. “Ron, ini catatan lo kemarin.”
“Oh iya gue lupa trenyata di elo, Del.”
Odele mengangguk. “Ya udah gue sama Hana balik ke kelas ya.”
“Odele?” panggil Gavin.
Odele berhenti di pintu. Dia menoleh. “Kenapa?”
Gavin tersenyum kikuk. “Lo mau nggak pulang bareng gue?”
“Boleh.”
Odele menarik tangan Hana. Mereka berjalan bergandengan ke kelas. Di tempat duduknya, Gavin masih tercengang. Odele menerima tawarannya tanpa penolakan. Gavin mencubit pipinya. Sakit. Itu artinya Gavin tidak bermimpi.
Uluh uluhhh aku ternyata udah lama nggak Up Before Empat Belas. Duh rindunya sama anak anak didikku yang disini hahaha
See you on the next chapter ya gesss
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Empat Belas
Teen Fiction[ON GOING] Odele Amanda, siswa kelas 11 SMA IPA yang manis dan berprestasi namun memiliki kepala sekeras batu dan hati yang super gengsian. Ia berjanji akan menerima pernyataan cinta dari orang keempat belas yang menyatakan perasaan padanya. Kenapa...