2. Hai Mantan Gebetan

92 46 66
                                    

Happy reading

Odele meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya yang nyeri, ia masih terduduk di samping tiang bendera. Dua orang laki-laki menghampiri Odele, yang satu Baron dan satu lagi, Odele menggeleng, sepertinya ia sedang berhalusinasi. Ia tidak terkena gegar otak karena benturan berusan, matanya jelas melihat orang yang bersama Baron adalah Gavin. Gavin Tristan. Laki-laki yang pernah ditolaknya saat SMP.

“Gavin?”

Baron membantu Odele berdiri. Ia juga menepuk debu di lengan Odele. “Dek Odel kenal sama Gavin?”

Gavin mengambil topi Odele yang terjatuh. Ia memulangkan kepada gadis itu. “Ron sebenarnya…”

Odele memotong ucapan Gavin. Sengaja ia memegangi pelipisnya yang memar. “Aduh, Baron anterin Odel  ke UKS yuk, puyeng banget nih.”

“Del, biar aku aja ya.” Gavin mendahului Baron tapi dengan cepat dicegah Odele.
 
“Sorry bro, urusan cewek cantik biar gue aja.” Baron menaikkan alis sambil nyengir.

Gavin mengalah, ia membiarkan Baron memapah Odele. Sebenarnya kepala Odele memang benar-benar pusing bahkan sampai ada bekas biru di pelipisnya. Tapi yang membuat kepala Odele semakin berdenyut pertemuannya kembali dengan Gavin. Baru hari pertama ia sudah dibuat apes. Odele semakin yakin sudah menolak Gavin.

“Makasih ya Ron, gue masuk sendiri aja. Lo balik ke basecamp deh, Kak Prabu udah nunggu.”

Baron tidak banyak komentar, ia langsung mengajak Gavin pergi. Odele memasuki ruang UKS setelah berterimakasih pada Baron. Ia sama sekali tidak menoleh pada Gavin.
***

Casya membuka bungkus roti sambil mengomel ke Odele. “Aduh Del, kan gue selalu bilang jalan itu hati-hati. Baru elo yang pernah ciuman sama tiang bendera di sekolah kita.”

Odele mengedikkan bahu. Moodnya hilang untuk menikmati soto. Sudah lima menit ia hanya mengaduk-aduk mangkuknya. Ia juga sedang malas meladeni sahabatnya yang cerewet binti kepo itu. Dari penampilan Casya yang imut dan manis. Orang-orang tidak akan percaya kalau Casya bisa berdakwah berjam-jam jika ada yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Hana menyapa anak kelas dua belas di meja sebelah. Setelah seniornya itu pergi, ia kembali mentap Odele. “Gue tadi liat kejadiannya dari lantai tiga. Cowok yang manggil lo itu siapa sih?”

Yuna menyendok kuah soto dari mangkuk Odele sambil berkata, “emang lo kenal sama tuh cowok? Ganteng banget anjir. Gue sempat berpapasan pas nyusul lo ke UKS. Beneran gebetan lo?”

Odele mencomot sambal di piring nasi goreng Hana. Otaknya masih mencoba mencerna hadirnya Gavin di sekolahnya. Sepengetahuan Odele, Gavin pindah ke Jogja karena ayahnya pindah tugas ke sana. Mamanya berteman baik dengan Mama Gavin tapi kenapa tidak ada kabar jika Gavin kembali ke Jakarta. Odel menghela nafas. “Bukan gebetan gue. Dia aja tuh suka gue. Terus dia orang ketiga belas yang nembak gue, pas kelas tiga SMP.”

“Apa??? Jadi lo juga nolak manusia secakep dia?” Yuna memekik sampai remahan makanan meluncur dari mulutnya. 

Hana melotot pada Yuna yang super heboh, beberapa pasang mata penghuni kantin sedang melirik dan berbisik-bisik ke arah mereka Apalagi ada cewek-cewek yang suka sirik pada mereka berempat.

“Ingat pacar, Yun,” bisik Casya.

“Jadi ternyata yang tinggi, mancung, manis ditolak juga. Lo beneran enggak suka sama Gavin waktu dia nembak lo?” Yuna mengecilkan volume suaranya.

Odele merapikan plester di jidatnya. “Gue kan udah janji sama diri gue akan nerima cowok ke empat belas. Lagian si Gavin itu cowok ketiga belas. Baru ketemu aja gue udah apes banget.”

Before Empat Belas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang