15. Pasar Malam

35 16 50
                                    

Happy Reading
.
.
.
Gavin terkekeh sambil memasuki rumah. Wajah jutek Odele masih terbayang-bayang. Langkah Gavin terhenti di ruang tengah. Ia tidak sengaja menangkap kegaduhan di dapur. Saura panci jatuh dan wajan saling bersahutan. Gavin cemas terjadi sesuatu atau jangan-jangan ada maling masuk ke rumah. Daripada penasaran, Gavin mengendap-endap mengintip.

“Gavin, kamu ngapain?”

Gavin tersentak. Suara Bu Kasih mengagetkannya. Gavin menarik lengan mamanya menjauh. “Ma, di dapur ada maling tuh.”

Kening Bu Kasih berkerut. Ia tersenyum saat Gavin kembali berjinjit ke arah dapur. Tangannya membuka gagang pintu dengan hati-hati. Sebelum masuk, Gavin melirik mamanya. Ia memberi kode agar Bu Kasih mengambilkan tongkat golf papanya di samping lemari hias.

Bu Kasih mengikuti instruski Gavin. Ia ikut mengendap-endap. Bu Kasih kembali mendekati Gavin. “Vin, malingnya ganteng lho.” Bu Kasih terkekeh.

“Mama apa-apaan sih.” Gavin menerima tongkat golf dari mamanya. Ia mendorong pintu keras. “Diam di situ atau gue gebukin lo. Dasar maling.”

Seorang laki-laki sedang membelakangi pintu. Karena terkejut, ia menjatuhkan sendok goreng. Suasana dapur tiba-tiba senyap. Si laki-laki berkaos putih itu menoleh. Bu Kasih menutup mulut menahan tawa.

“Emang ada ya maling sekece gue?”

Gavin membuang muka. Bu Kasih malah menusuk-nusuk lengan Gavin. Gavin mendengus kemudian mendekati Rayn. “Elo ternyata, Bang. Lo ngapain sih?”

Rayn melirik meja dapur yang sudah ia berantakkan. Sebuah mangkuk bersisi adonan yang sudah mengembang terletak di tengah. Di sampingnya bertengger bungkusan mentega dan gula.

“Ohh lo buat donat ya?” Gavin melihat sebungkus ragi terjatuh.

Bu Kasih meraih adonan donat. Ia membagi-bagi menjadi potongan kecil. Setelah itu ia membentuk bulatan-bulatan donat. “Ini nih, Rayn maksa Mama buat donat.”

Rayn mengangguk. Ia menuang minyak ke wajan. Menunggu minyaknya panas, ia membantu membentukadonan. “Gue mau buat donat spesial ke Odele.”

“Seriusan lo Bang?” Gavin meletakkan ranselnya sembarangan ke lantai. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan abangnya. Kepala Gavin berdenyut. “Bang, jawab gue dong.”

Rayn menaik-naikkan alis. “Ia adek gue paling manis. Ini buat Odele. Emang kenapa?”

Bu Kasih mengangkat adonan yang sudah dibentuknya. Ia menggoreng dengan hati-hati. Tangannya terlihat sangat lihai. Bu Kasih memang sangat suka memasak apalagi kudapan manis. “Ia Vin. Rayn mau ngajak Odele ke pasar malam juga lho.”

“APA???” Mulut Gvain masih terbuka lebar.

“Biasa aja dong.” Rayn menyiapkan lelehan coklat untuk toping. Ia tiba-tiba menepuk kening. “Eh, lo kan temennya Odele dari SMP. Dia sukanya rasa apa sih?”

Ingin rasanya Gavin menjatuhkan diri di kolam renang sebelah rumah. Dapurnya panas. Kepalanya panas. Hatinya apalagi, panas, panas, panas. Ia mendengus. "Odele sukanya greentea.”

Rayn mengacungkan kedua jempolnya. “Gue buat rasa coklat mix sama greentea aja deh. Biar lebih spesial.” Rayn melepas celemek. “Vin, bantuin mama ya. Gue mau mandi. Biar main tampan.”

Gavin mengangguk. Ia menatap nanar pada donat-donat yang sudah matang. Walaupun sangat tidak rela sebagai aadik yang berbakti ia tetap menuruti Rayn.

“Vin, kok galau gitu sih. Enggak ikhlas ya bantuin abang kamu. Mama tuh seneng deh kalau Rayn deketnya sama Odele,” Bu Ningsih mematikan kompor. Ia membantu Gavin menuang lelehan coklat dan greentea.

Before Empat Belas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang