13. Donat Grentea

22 14 28
                                    

Happy reading
.
.
.
Dengan bawaan yang lumayan berat di dalam goodie bag, Odele sedikit kesulitan untuk menutup gerbang rumahnya yang lumayan tinggi. Untung saja ia sudah sarapan banyak jadi persediaan energi tidak terlalu berkurang. Hari ini, Odele harus berangkat sekolah sendiri karena papanya sedang dinas di luar kota. Biasanya jika Pak Brama tidak bisa menghantar Odele ke sekolah, maka ia akan numpang dengan kakaknya, tapi mungkin Odele kurang beruntung pagi ini. Ranti pagi-pagi subuh sudah pergi ke kampus karena ada kuliah jam setengah tujuh. Di rumah hanya tersisa sepeda motor, itu juga mau dipakai oleh Bik Yuyun ke pasar.

“Selamat pagi Odele!”

Odele terkejut mendapati Gavin cengengesan tidak jelas di depan rumahnya. Laki-laki itu duduk santai di atas vespanya. Odele menggaruk kening, entah nasib apes apa lagi yang akan menimpanya di pagi nan cerah ini.

“Pagi Odel, kok diem aja, sariawan ya atau sakit gigi?”

Odele tidak menghiraukan Gavin. Ia berjalan ke depan kompleks berharap ada taksi yang nganggur. Sebenarnya Odele sudah memesan ojek online namun tidak dapat pengemudi, mungkin karena jam sibuk. Tiga kali Odele memesan tapi ketiganya gagal.

“Del, berangkat bareng yuk,” Gavin mengikuti Odele dengan kecepatan pelan.

“Enggak mau.”

“Del, ayo dong. Kamu nggak kasian sama aku, semalamam aku nggak tidur karena kamu pergi jalan sama Rayn. Nggak kuat aku harus saingan sama abang sendiri,” bujuk Gavin.

Odele berhenti, ia menghentakkan kakinya menumpahkan kekesalannya pada Gavin. “Vin, ini masih pagi lho. Bisa nggak sih nggak ganggu gue.”

Gavin ikut-ikutan menghentikan vespa kesayangannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak bekal dari tasnya lalu mengulurkannya pada Odele.

Kening Odele berkerut menerima pemberian Gavin. “Apaan nih?”

“Donat kesuakaan kamu toping greentea. Donat manis buat yang cantik dan manis.”

Mata Odele langsung berbinar. Sekesal- kesalnya Odele pada Gavin, jika disogok dengan donat greentea apalagi buatan mama Gavin, gadis itu akan luluh juga. Ternyata makanan kesukaan Odele belum berubah, saat SMP Gavin sering membawa donat untuknya.  Gavin tersenyum, dalam hati ia berterimakasih pada mamanya tercinta sudah membantunya membuat donat kesukaan cewek kepala batu itu.

“Thaks ya, Vin.”

Gavin mengangguk. “Itu sebagai maaf aku udah buat kamu nyungsep dari kasur.”

Dalam hitungan detik senyum Odele berubah menjadi kecut lagi.” Gue maafin.”

“Senyum dong, Del,” bujuk Gavin.

Odele tersenyum tipis. “Ya udah nih gue senyum.”

“Del ,sini deh.”

Odele tidak mengerti dengan permintaan Gavin, namun kakinya melangkah mendekati laki-laki itu. Gavin terkekeh, tangannya terangkat mencubit pipi Odele sehingga bibir Odele terangkat membentuk senyum lebar.

“Senyum itu harus lebar Del, jangan pelit-pelit,” ucap Gavin.

Odele meronta, ia mengusap pipinya yang sakit karena Gavin. “Ihh dasar nyebelin deh.”

Gavin terbahak karena Odele melotot padanya. “Kita berangkat bareng mau ya?”

“Enggak mau.”

“Jalan sama Bang Rayn mau, sama aku enggak, ayo deong Del, sekali aja,” rengek Gavin sambil menarik tali tas Odele.

“Ih sok manja, mual gue,” Odele membuang muka.

Before Empat Belas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang