10. Badmood

29 16 54
                                    

Happy reading
.
.
.
Tiga orang laki-laki baru saja keluar dari kelas sebelas IPS dua. Setelah pelajaran membosankan dari Bu Linda guru mata pelajaran Ekonomi, akhirnya mereka diselamatkan oleh bel pulang. Lagipula siapa yang tidak bosan jika disuruh meringkas dua bab sekaligus. Gavin mengekor di belakang Arsen dan Baron. Mereka ingin makan siang ke sebuah rumah makan Padang yang tidak jauh dari sekolah mereka, sejak di kelas bayangan rendang dan sayur nangka sudah menari-nari di kepala Gavin.

“Eh, gue mau curhat dong,” Gavin merangkul Arsen dan Baron.

“Kenapa lagi?” tanya Arsen malas karena ia sudah tahu temanya pasti tidak jauh dari Odele.

“Gue ditolak lagi sama Odele, malah semalm gue disuruh buat jauh dari dia.”

Baron menjitak jidat Gavin dengan keras. “Makanya jangan bucin banget jadi orang, gue aja yang ganteng gini enggak separah elo.”

“Namanya juga lagi kasmaran,” Gavin balas menjitak Baron.

Arsen tiba-tiba berhenti. Baron dan Gavin mengikuti arah pandangan Arsen. Mereka tersentak ketika melihat Mira terduduk lemas di sebuah bangku yang terletak di dekat gerbang. Gadis itu sangat pucat, ia memegangi perutnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mencengkram pinggiran kursi.

“Mira sakit lagi, kita tolongin yuk,” Baron berlari  disusul oleh Gavin dan Arsen.

“Duh, dek Mira perut lo sakit lagi ya?” tanya Baron panik.

“Ia nih sakit banget. Gue mau pulang tapi supir gue mendadak harus jemput mama. Bisa tolong pesan taksi online?”

Gavin tidak tega melihat seseorang merintih kesakitan. Jiwa pahlawan dalam dirinya langsung meronta.

“Gue anter lo Mir.”

Baron yang sedikit terkejut menoleh pada Gavin. “Gue ikut ya.”

Gavin menggeleng keras. “Biar gue aja, lo sama Arsen kan mau ekskul.”

Gavin meraih tas milik Mira, setelah itu ia membantu Mira berdiri. Mira yang sangat kesakitan ternyata tidak sanggup jalan sendiri. Gavin memilih jongkok di hadapan Mira.

“Batuin Mira berdiri dong, biar gue gendong.”

Baron dan Arsen saling memandang, namun mereka berdua menurut. Mereka menuntun Mira yang sudah sangat lemas ke punggung Gavin. Gavin sepertinya tidak kesulitan menggendong Mira yang tubuhnya sangat kurus.

Arsen menghentikan langkah Gavin saat laki-laki itu ingin belok menuju parkiran roda dua. Gavin memandang Arsen dengan tatapan bertanya.

“Lo enggak mungkin anterin Mira naik motor, bahaya. Pakai mobil gue aja,” jawab Arsen.

Gavin tidak melakukan protes. Setelah mobil Arsen terbuka, Gavin membantu Mira duduk di kursi penumpang.

“Thanks ya temen-temen,” ucap Mira pelan.

Baron dan Arsen mengangguk. Gavin menutup pintu penumpang, lalu dengan sedikit tergesa bergegas ke bangku supir. Tidak sengaja pandangan Gavin berhenti pada seseorang. Orang itu sedang menatap lekat- lekat pada Gavin.

“Bro, biar gue aja deh yang nganterin Mira,” Baron menawarkan diri setelah melihat siapa yang sedang Gavin perhatikan.

Gavin menggeleng. “Gue aja, duluan ya.
***

Genta sang ketua ekskul fotografi melirik jam tangannya, sudah pukul tiga tepat. Sesuai hasil rapat minggu lalu rapat akan dimulai tepat pukul tiga, namun sekretarisnya belum muncul juga. Genta sudah menghubungi namun telfon dan pesannya diabaikan. Genta merasa aneh dengan tingkah sekretarisnya itu, bisanya Odele adalah anggota yang paling tepat waktu dan anti molor.

“Ar, lo ada lihat Odel?” tanya Genta pada wakilnya, Arsen.

“Tadi sih terakhir gue lihat dia ada di parkiran, Kak.”

“Coba deh lo hubungin temen-temennya,” perintah Genta.

Arsen merogoh ransennya untuk mencari keberadaan HPnya. Ia mencari kontak Yuna. Untunglah Arsen tidak menghapus kontak perempuan yang sudah menolaknya itu.

“Kak, itu Odele udah nongol,” salah satu anggota menunjuk Odele.

Odele sedikit ngos-ngosan mengambil tempat duduk di samping Arsen. “Maaf Kak, gue telat.”

Genta hanya mengangguk. Berhubung seluruh anggota rapat sudah lengkap, Genta memilih mengeluarkan note miliknya dan memaparkan apa yang menjadi tema pembahasan mereka. Genta, Arsen, Odele, dan Icha bendehara, mengambil duduk di depan.

“Kok bisa lo telat?” bisik Arsen pada Odele yang sibuk mencari catatan rapat minggu lalu.

“Ada urusan,” jawab Odele singkat.

“Baiklah rapat kita mulai. Jadi beberapa kelas dua belas meminta tim ekskul fotografi untuk menjadi fotografer mereka dalam pemotretan buku tahunan. Sesuai pencapaian kalian selama menjadi anggota fotografi, gue udah pilih kelompok yang akan ikut ambil bagian.”

Genta memaparkan bahwa ada empat kelas yang memakai jasa tim ekskul fotografi. Ia menunjuk empat kelompok yang akan diutus menjadi tukang poto buku tahunan. Odele yang pencapaiannya sangat bagus ikut terpilih. Gadis itu masuk dalam kelompok dua bersama Baron dan Arsen, mereka akan memotret kelas dua belas IPS satu.

“Jadi sekarang kelompok yang terpilih bisa menyusun rencana dan yang belum, kita keluar ruangan untuk pemaparan materi dasar pengetahuan kamera untuk junior,” Genta menutup rapat.

“Wah kita satu kelompok nih Del,” Baron menarik kursi ke depan meja yang ditempati Odele dan Arsen saat rapat.

“Tau ah, males,” Odele menagkupkan kepalanya ke meja.

“Enggak bisanya lo murung gitu Del,” ucap Arsen dengan nada menyelidik.

“Ia, tadi juga lo telat. Kenapa sih?”

Odele mengangkat wajag menatap Baron dan Arsen datar. “Emang gue kenapa?”

“Dari kita ketemu lo di parkiran, muka lo asem banget. Sekarang juga tuh muka datar kayak papan tulis Pak Arifin,” Baron mengeluarkan minuman kaleng dari tasnya.

Odele marampas minuman milik Baron. “Gue lagi badmood nih.”

“Lo badmood karena Gavin ngantar Mira pulang?” tanya Arsen.

“Apaan sih Ar. Enggak nyambung tuh,” Odele menepuk pundak Arsen.

“Udah deh, susah ngomong sama manusia nggak peka,” Baron terkekeh.

Odele melotot pada Arsen dan Baron sehingga kedua laki-laki itu semakin menggoda Odele, jika Odele kepikiran karena Ggavin menggendong Mira.

“Jadi Kata Kak Genta, anak kelas duabelas IPS belum ada konsep buat foto mereka, kalau kita ada ide boleh kasih saran,” Arsen mengalikan topik.

“Gimana kalau temanya colourful, mereka colourrun, jadi kan ceria gitu. Atau gue pernah buka buku tahunan kakak gue mereka tuh anti mainstream, main bola pake jas sama kebaya,” Baron memaparkan idenya.

“Tumben lo punya ide, dari gue sih punya saran indoor tapi bukan di kelas tapi supermarket,” usul Arsen. “Gimana Del, ada saran?”

Odele tidak menjawab, pandagannya fokus pada minuman kaleng yang ia rampas dari Baron namun pikirannya melayang jauh kemana- mana. Baron dan Arsen bertukar pandang lalu terkekeh.

“Del,” Baron memukul jidat Odele.

“Aduh, apaan sih, Ron,” Odele meringis.

“Rapatnya lanjut besok aja deh, ada yang lagi kepikiran sama temen kita nih, Ar.”

“Ya udah deh, kita balik aja yuk.”

Odele menjewer telinga Baron. “Jangan fitnah lo. Gue laper makanya nggak fokus bukan karena mikirin Gavin.”
.
.
.
Duhhh beneran nggak sih badmoodnya karena lapar? Atau emang kepikiran Gavin? Dasar nih nggak mau ngaku. Eh buat yang baca dapat salam dari Arsen dan Baron, katanya see you on the next chapter 😍

Before Empat Belas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang