9. Cemburu

31 17 38
                                    

Happy reading
.
.
.
Seluruh anggota keluarga Odele sudah berkumpul di meja makan. Bu Ningsih sibuk mengolesi roti tawar dengan selai kacang. Pak Brama, papa Odele uring- uringan membahas berita banyaknya artis terjerat narkoba yang hanya ditanggapi seadanya oleh Odele, karena memang gadis itu tidak terlalu tertarik mengikuti berita selebritis. Sedangkan Ranti sang kakak yang cueknya melebihi Odele memilih menyibukkan menikmati pagi dengan segelas susu coklat panas.

“Papa kecewa deh sama artis yang tadi malam tertangkap,” ujar Pak Brama.

“Yaelah, dia yang keciduk kok Papa sih yang rempong. Salah dia juga kali, Pa,” jawab Odele.

“Papa pernah ketemu dia di PI, orangnya mah baik, sangat disayagkan ya, Ma, mana dia masih muda lagi.”

Bu Ningsih menuang jus melon ke gelas suamiya. “Pa, minum jusnya, enggak usah heboh bahas artis terus.”

“Ia ndoro,” Pak Brama meneguk jus melon. “Ranti hari ini nggak ngampus?”

Ranti menggeleng. “Enggak, Pa.”

“Ohh, jadi Papa berangkat sama Odele aja nih, yuk Del,” ajak Pak Brama.

Odele berdeham, ia meremas jarinya mencari kata- kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalanya.

“Kenapa Del?” tanya Bu Ningsih yang paham gerak- gerik putrinya.

“Sebenarnya Odele janji berangkat bareng Kak Rayn, anaknya Tante Kasih. Tapi kalau nggak diizinin sih Pa.”

“Gimana Ma?” Pak Brama melirik Bu Ningsih.

“Ya udah enggak apa- apa. Rayn anaknya baik kok, ganteng, manis lagi.”

“Mama apaan sih, emang ada hubungannya berangkat bareng sama genteng dan manis?”

“Enggak ada sih, Del. Tapi mama suka kamu dekat sama Rayn, biar kamu enggak jomblo lagi. Habisnya mama punya dua putri tapi yang satu cuek yang satu batu.”

Odele tersenyum lega menerima izin dari kedua orangtuanya. Setelah sarapan selesai Pak Brama berjalan beriringan bersama Odele ke pintu utama . Tepat saat Odele membuka pintu, Rayn sudah sampai di teras. Ia mengenakan hoodie abu-abu dengan celana jeans hitam.

“Halo Om, saya Rayn. Om masih ingat saya?” sapa Rayn dengan sopan.

Pak Brama tersenyum hangat menepuk pundah Rayn. “Masih dong. Baru dua tahun enggak ketemu kamu makin ganteng aja Rayn, gantengnya mirip Om.”

Rayn tertawa. “Om, Rayn mau izin nganter Odele ke sekolah.”

“Boleh. Tapi dengan satu syarat.”

Kening Rayn berkerut namun sedetik kemuadian ia kembali tersenyum. “Apa itu Om?”

“Bawa motornya hati- hati.”

“Pasti Om.”
***

Rayn memarkirkan motor gedenya di depan sekolah Odele. Beberapa pasang mata milik siswa perempuan sengaja melirik mereka berdua, ada juga yang senyum- senyum tidak jelas pada Rayn. Memang dasar perempuan jaman sekarang, paling melek melihat cowok ganteng.  Casya yang kebetulan lewat tersenyum jahil pada Odele, namun karena ia mendapat mandat dari Pak Arifin untuk mengumpulkan PR Matematika, ia memilih buru-buru ke kelas tanpa mengganggu Odele dan Rayn.

“Kamu belum terlambat kan?” tanya Rayn sambil membuka helm.

Odele membuka helmnya sambil menggeleng. “Belum, Kak Rayn kan ngebut bawa motornya.”

Rayn terkekeh melihat rambut Odele acak- acakan. Tangannya terangkat merapikan poni Odele yang sudah tidak terkondisikan lagi.

“Eh Kak,” Odele kembali diserang gugup.

Before Empat Belas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang