1.

1.1K 70 5
                                    

'Mimpi kita sederhana. Namun dipersulit oleh restu semesta.'

___

Pukul 08.00 malam Laisha akhirnya tiba di kediaman kedua orang tuanya. Setelah melakukan perjalan dari Bandung menuju Solo menggunakan kereta yang cukup menyita waktunya. Sebenarnya, ia bisa saja menggunakan pesawat untuk mempersingkat waktu perjalanannya. Tapi, ia tidak mau. Lebih enak menggunakan kereta yang biayanya lebih murah.

Bukan karena Laisha tidak mampu, ah! Lebih tepatnya memang di tidak mampu. Tapi memiliki Tian, mungkin Laisha tidak akan pernah kekurangan uang. Apalagi sampai makan mie instant seperti saat jadi anak kuliahan. Sayangnya Laisha enggan berpangku tangan kepada Tian. Pria itu sudah cukup sangat membantunya selama dia hidup di Jakarta. Bahkan untuk mendapatkan pekerjaan di kantor yang sekarang saja semua karena bantuan Tian.

"Kamu udah sampai?" Laisha tersenyum seraya menatap wajah kekasihnya yang masih terlihat sibuk di kantornya. Ya, Tian memang mendirikan perusahaan Desain Grafis bersama dua sahabatnya. Perusahaan Tian hanya fokus pada jasa pembuatan website saja. Namun setelah lima tahun berdiri, akhirnya Tian mulai terjun di bidang arsitektur dan juga desain interior bangunan. Walau hanya sebatas bangunan-bangunan kecil saja.

S

eperti Kafe, Butik dan juga rumah-rumah minimalist karena memang Tian lulusan Arsitektur.


"Kamu lembur lagi?"

Kali ini, gantian Tian yang mengangguk. Tubuhnya yang semula berada di sofa ruang kerjanya, tiba-tiba merosot ke lantai. "Capek," keluhnya dengan wajah khas Tian yang sangat manja seperti bayi kingkong.

"Hush! Gak boleh ngeluh. Banyakin bersyukur. Di luaran sana banyak orang yang gak seberuntung kamu." Laisha memberikan ongkos pada si pengayuh becak, sambil tersenyum dan berterima kasih. Ia mengangkat tas bawaannya sendiri menuju halaman rumahnya.

Ia sengaja tidak memberitahu kedatangannya pada kedua orang tuanya. Sehingga tidak ada satupun di antara kedua orang tuanya yang menyambut.

"Aku tutup dulu. Jangan sampai sakit, Yan," ujar Laisha.

"Iya wanitaku."

Laisha hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Tian yang kadang seperti remaja saja. Kerap kali melontarkan kata-kata menggoda untuknya. Padahal usia mereka tidak lagi bisa dikatakan remaja. Mereka sudah menjadi dewasa. Seharusnya mungkin mereka juga sudah berumah tangga. Apalagi jalinan hubungan yang mereka jalani sudah cukup lama. Jika saja segalanya memang diciptakan mudah bagi mereka. Mungkin sejak lima tahun lalu Tian sudah menikahi Laisha dan menjadikannya istri.

———

Laisha mengetuk pintu, tak lupa untuk mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Kebetulan pintu utama rumah terbuka. Pertanda jika ayahnya sedang kedatangan tamu.

Rumah kedua orang tua Laisha bergaya joglo.

Dinding-dinding rumah pun tak berhias cat warna. Hanya batu bata. Juga tiang-tiang yang dibuat dari kayu  jati dengan ukiran-ukiran yang cukup cantik. Selain itu, ayah mereka memang menyukai kerajinan kayu dan juga tembikar. Hampir keseluruhan barang-barang yang mengisi rumah pun benar-benar terlihat kuno.

Sempat beberapa kali Laisha dan kakaknya menyuruh ayah mereka untuk merenovasi rumah menjadi bergaya minimalist modern. Tapi ayahnya tidak pernah mau. Katanya, dia ingin mempertahankan ciri khas rumah jawa yang sekarang sudah sangat sedikit sekali ditemukan.

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang