13

665 61 1
                                    

'Dan kini, Mengikhlaskanmu adalah yang tengah kuperjuangkan. '

______

Jika kau bertanya? Apakah setelah melepaskan hati akan baik-baik saja? Sungguh, pertanyaan yang cukup bodoh untuk disuarakan. Yang tentu saja jawabannya sudah pasti tidak. Tidak akan ada hati yang baik-baik saja setelah melepaskan.

Jika iya, itu hanya sekadar topeng atau mungkin sebuah cara belajar untuk coba mengikhlaskan. Begitu juga Laisha, jika hari ini keseluruhan dirinya seakan terlihat biasa saja. Maka sudah jelas apa yang ada di dalamnya hancur tak tersisa.

Satu bulan yang lalu pria itu masih pria yang sama. Pria yang menatapnya penuh cinta. Pria yang selalu mengucapkan kata rindu dan was-was setiap kali dirinya menghilang tanpa kabar. Pria yang akan memberikan jaketnya ketika hujan. Pria yang mengenalkan pada apa itu ciuman pertama. Pria itu yang sebulan lalu mengatakan bahwa dia ingin menikahinya.

Mirisnya, hanya butuh waktu satu bulan segalanya hilang dan ditiadakan tanpa sisa. Hanya ada kenangan-kenangan yang kerap kali singgah menyisakan sesak di dada. Memang sejak awal kesalahan ada pada dirinya. Dialah yang menginginkan perpisahan. Namun mengapa justru dirinyalah yang paling merasakan pedihnya luka?

"Sha! Kalau gak yakin mending balik lagi deh." Yuni memperingati sekali lagi untuk yang ke sepuluh kalinya sejak mereka berdua berada dalam mobil menuju tempat tersebut.

"Cuma jangka sebulan. Lagi-lagi aku datang ke tempat ini," kata Laisha dengan kenangan yang mengikat memorinya.

Yuni sebagai sahabatnya tahu betul jika Laisha hancur. Tapi melihat tekad kuat wanita itu untuk datang ke pernikahan ini artinya Laisha memang benar-benar mempersiapkan diri.

Bahkan puluhan pasang mata menatap sahabatnya dengan tatapan sedih. Beberapa darinya mencoba berbasa-basi untuk sekadar bersikap menguatkan Laisha tanpa ada sedikitpun yang menyinggung kisahnya. Kecuali satu ... ya satu orang yang tidak diharapkan kehadirannya saat ini.

"Gila banget. Yang nemenin berjuang siapa? Yang diajak kepelaminan akhirnya siapa?"

'Shit.' Yuni langsung mengumpat. Tebakannya tepat. Si mulut comel selalu saja tidak pernah tahu tempat.

"Itu alasan kenapa aku gak mau diajak berjuang bareng-bareng dari nol. Giliran udah sukses eh malah ngebuang deh."

Novita melenggang begitu saja tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Sha. Mau pulang?" Bukan Yuni yang menawarkan. Tapi Bian. Pria itu juga turut diundang oleh Tian karena perusahaan mereka tengah melakukan kerja sama. Mungkin hanya demi saling menghormati.

"Aku baik-baik saja, Pak." Laisha berusaha meyakinkan. Tapi seluruh orang yang mengenalnya tahu kalau wanita itu hanya tengah mencoba bertahan sekuat tenaga.

"Kok Laisha bisa sebodoh itu sih gak tahu?"

"Sayang banget, ya? Pacaran lama ujungnya jadi tamu undangan."

"Gue pikir Tian bakal nikahin Laisha. Sebulan lalu aku ketemu Tian di Tiffany & Co. Dia mesen cincin berlian. Kirain buat Laisha. Tahunya buat cewek lain."

"Lagi pula dari dulu gue gak yakin kalau Laisha sama Chris bakalan nikah. Secara mereka beda agama."

"Ya, kan, siapa tahu salah satu di antaranya mau ngalah."

"Semua sudah ditentukan sama Tuhan, guys."

Laisha hanya bisa menarik nafas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Tidak heran mengapa wanita-wanita itu terus menerus membicarakannya. Secara mereka semua adalah teman masa kuliah. Beruntungnya hanya beberapa saja yang diundang. Sehingga Laisha masih bisa untuk tahan menulikan pendengarannya.

Tiba-tiba beberapa langkah kaki mengarah ke hadapannya. Mereka—para sahabat Tian dan juga istrinya menemuinya. Wanita-wanita cantik dengan balutan dress malam yang terlihat begitu bercahaya menampilkan aura bahagianya.
Namun tidak satupun dari mereka yang memandang Laisha dengan tatapan miris seperti tamu-tamu lain yang mengenalnya.

"Hai!" Lima wanita itu memeluknya secara bergantian.

"Lama sekali tidak melihatmu, Sha." Airin—istri Revan memeluknya begitu erat. Seakan wanita itu begitu merindukannya.

"Apa kita ingin membuat pesta sendiri?" tawar Revan.

"Gimana, Sha? Kita bisa pergi ke suatu tempat."

Laisha menggeleng. "Aku harus segera pulang. Terima kasih penawarannya. Mungkin akan aku ambil lain waktu."

"Tentu saja. Kapanpun kamu butuh batuan jangan sungkan hubungi kami. Kita tetap bisa berteman, Sha. Walaupun kalian tidak lagi bersama. Aku menyukaimu," kata Airin dengan jujur. Dibalas anggukan oleh empat wanita lainnya.

Maura, Rachel, Cindy dan juga Naira.
"Kami juga menyangimu, Sha."

"Terima kasih," cicit Laisha. Kemudian dia tersenyum seraya menggenggam salah satu lengan Aira. Seakan kelima wanita itu penyanggah pijakan Laisha. Mereka benar-benar ikut menemani Laisha naik untuk memberikan ucapan selamat pada Tian dan pasangannya.

"Kamu bisa, Sha," ucapnya dalam hati.  Dengan segenap keyakinan yang dia kumpulkan. Laisha mencoba memupuk udara agar napasnya tidak tercekat tepat di depan pasangan tersebut.

Ikhlas. Ikhlas. Ikhlas. Adalah tiga mantra yang sebulan ini dia ucapkan untuk dirinya. Dan malam ini dia harus benar-benar melakukannya.

'Mengikhlaskanmu yang tengah kuperjuangkan. Wahai hati, menguatlah. Sebab dirimu tidak dituntut untuk menjadi rapuh.'

Laisha menyalami kedua orang tua Tian—terutama mama Tian. Wanita itu nampak bahagia, namun juga seperti merasa bersalah. "Makasih ya, Sha. Sudah hadir."

Laisha tersenyum kemudian memeluknya. Selanjutnya menyalami Tian dan juga istrinya—Athalea.

Tian diam. Tapi Lea tersenyum kepadanya. Lalu saat bersalaman Laisha melihat cincin yang melingkari jari manis Lea.

'Jadi ini cincin yang dipesan khusus. Mungkinkah Lea tahu jika Tian lebih dulu melamarnya?'

"Makasih Laisha."

"Selamat. Telah dipilih Tian menjadi pendamping hidupnya. Semoga kalian bahagia." Laisha pun tidak lagi mengeluarkan kata-kata. Seulas senyum tulus diberikannya sebelum memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut.

P

ada kenyataanya, Laisha tak sekuat itu untuk bertahan. Ia segera berjalan menuju kamar mandi. Berniat untuk melepas tangisnya. Namun lagi-lagi kenyataan menyakitkan justru harus dia dapati.

"Si Lea hamil. Pantes semuanya dibuat dadakan. Kasihan Laisha."

"Tapi dibanding Laisha. Lea emang menang dari segi manapun. Cantik dan berkelas. Keluarga juga lebih kaya dari Tian.

"Wkwkk cewek berkelas gak akan mau jadi selingkuhan, Beb."

"Hahahhaa iya bener. Amit-amit. Percuma cantik kalau ujungnya jadi perusak hubungan orang."

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang