'Kadang kala, rasa itu hadir karena terbiasa bersama. Bukan perkara mengapa begitu mudah hati berpindah. Hanya saja, bukankah lebih baik untuk segera melupa? Agar ukiran luka itu perlahan tertutup sempurna.'
————
Waktu tidak akan pernah berhenti berputar. Ia akan terus bergerak, semakin cepat tanpa melambat. Laisha tahu, setiap waktu yang pernah dia lalui bersama sosok itu lebih banyak membuatnya berbahagia. Namun ia juga harus menyadari bahwa segalanya sudah berubah. Entah ia sanggup atau tidak untuk melupa, yang jelas ia sudah berusaha semampunya.
Ia tengah berdamai dengan semua kenangan dan luka yang Tian torehkan. Semua itu berkat Arkan dan Khanza. Keseharian yang mereka lalui bersama lambat laun membuat Laisha lupa—walau sesekali ia juga akan teringat lagi. Memangnya kenangan itu mudah melebur begitu saja? Sekalipun dia bertemankan luka dan kecewa.
Seperti setiap pagi. Setelah dia benar-benar memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Laisha sudah disibukan dengan segala tetek bengek urusan rumah. Dari mulai mencuci, membuat sarapan, memastikan jika Arkan bangun tidak telat dan Khanza yang sudah siap menyambut papanya sebelum pergi kerja.
Selayaknya dua orang yang benar-benar menjalankan peran suami-istri. Ia dan Arkan bisa dikategorikan pasangan yang sempurna dalam urusan pekerjaan rumah dan pembagian waktu bersama.
"Sha! Udah siap?" tanya Arkan sambil mengetuk pintu kamarnya.
Laisha tengah memasangkan baju untuk Khanza. Mendengar suara Arkan, ia pun langsung menjawabnya, "Mas bisa masuk? Bantu aku pasangin sepatu buat Khanza."
Arkan pun masuk dan mengernyit saat Laisha ternyata masih belum siap. "Kok kamu belum siap?"
"Tinggal ganti baju, Mas. Tapi ini ngurus Khanza dulu. Makannya Mas bantuin."
"Mau pake sepatu yang mana?"
"Pink yang ada pitanya sama kaus kaki renda pendek."
Arkan dengan cepat mencari di rak tempat penyimpanan baju dan juga sepatu Khanza. Hari ini mereka memiliki jadwaal untuk memeriksakan Khanza ke dokter anak.
"Yaudah kamu siap-siap. Biar Mas yang urusin Khanza. Ini udah jam 09.00."
Laisha tidak membantah, segera mencari pakaiannya dan pergi ke kamar mandi untuk berganti baju.
Tidak butuh waktu lama. Laisha keluar dalam keadaan baju kaos yang sudah berganti dengan dress santai berwarna putih berlengan panjang. Sayangnya Laisha masih kalang-kabut dan belum sepenuhnya siap. Arkan yang sudah menyelesaikan tugasnya—memakaikan sepatu Khanza dan menggendongnya pun hanya diam memperhatikan gerak-gerik Laisha yang memusingkan. Terutama rambut panjang Laisha yang entah ingin dibagaimanakan."Gelung apa gerai?" ucap Laisha sambil berdiri di depan cermin meja make-up miliknya. Ia bermaksud untuk bertanya pada Arkan. Tapi pria itu tidak menangkap dan mengerti maksudnya, sehingga Laisha harus menghela nafas—sedikit gedeg.
"Mas! Aku tanya. Bagus digelung atau digerai?"
"Oh ... kamu tanya sama, Mas?"
"Iyalah. Kan di sini cuma Mas yang bisa ditanya."
"Mas pikir kamu lagi bertanya pada cermin karena berbicara dengan cermin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan sekali saja
RomanceBagi Laisha, setiap waktu yang dilaluinya adalah berharga. Begitupula 8 tahun yang sudah dia habiskan untuk menjalin hubungan bersama Tian-kekasihnya. Saat segala mimpi dan harapan-harapan telah terajut begitu manis dan indahnya, kenyataannya segala...