"Van! Apa seharian Tian di kantor?" tanya Laisha saat berhasil menghubungi nomor Revan.
Dari seberang telephonenya Revan menjawab jika sejak siang tadi Tian meninggalkan kantor bersama mama dan juga wanita yang masih Laisha ingat namanya. Merasa sudah cukup mendapat jawaban, ia pun memutuskan untuk menutup obrolannya bersama Revan.
Ini kali pertama Tian tidak menghubunginya perihal dengan siapa dia pergi. Bahkan, sampai melupakannya seharian. Sepenting apa acara yang dia miliki sejak siang? Apakah pria itu juga sampai melupakan janjinya?
Tanpa sadar Laisha berdiri di depan kantornya—menunggu kedatangan Tian hingga pukul 09.00 malam.
"Sha! Kenapa belum pulang?" tanya seorang laki-laki yang kerap kali digosipkan dengannya. Dia adalah Bian—pria berusia 32 tahun yang menjabat sebagai CMO —Chief Marketing Officer—sejak tiga bulan yang lalu.
"Menunggu seseorang, Pak," jawab Laisha jujur.
"Sudah jam 09.00, Sha. Kamu yakin dia bakalan datang?"
Meski sebenarnya dia tidak yakin. Tapi Laisha mencoba meyakinkan dirinya jika Tian akan datang menjemputnya.
"Yasudah. Aku temenin aja, ya?" Bian mengajak Laisha untuk duduk bersama di kursi tempat biasanya para karyawan pria merokok. Karena kantor sepi, tempat tersebut otomatis sepi juga. Hanya ada satpam kantor yang masih berjaga di posnya.
"Tapi—" Bian yang menangkap keraguan dari wajah Laisha pun mencoba untuk meyakinkan bahwa tujuannya hanya sekadar menemani Laisha untuk menunggu orang yang menjemputnya—tidak lebih.
"Hanya menunggu, Sha. Kamu gak nyaman sama saya?"
"Bu-bu-bukan!" sergah Laisha langsung.
"Yasudah kalau begitu sini duduk." Bian menepuk-nepuk sisi kursinya yang kosong. Bahkan dia melepaskan jas miliknya sebagai alas duduk Laisha agar celana yang dipakai Laisha tidak kotor.
"Eh, Pak! Jangan. Aduh. Itu jas mahal. Kenapa malah dijadiin alas buat celana saya yang enggak seberapa harganya."
"Saya pikir kamu gak mau duduk karena kursinya kotor. Jadi inisiatif deh."
Laisha pun akhirnya menyingkirkan jas milik Bian, lalu mendudukan pantatnya. Dia mengebas-ngebas jas Bian sebelum memberikannya.
"Kamu terganggu sama gosip ya, Sha?" Bian melempar pertanyaan saat Laisha memberikan jas miliknya. Walau sebenarnya dia tidak pernah secara terang-terangan mengatakan ketertarikannya pada wanita cantik berambut hitam lurus ini, ia tahu jika Laisha pasti sedikit terusik.
"Saya sudah memiliki kekasih, Pak."
"Saya tahu. Saya juga tidak berharap kamu membalas perasaan saya," kata Bian dibarengi senyum tulus akan ucapannya.
"Tapi perasaan Bapak membuat saya jadi bahan gosip. Dan jujur saja, saya merasa terganggu."
"Berapa lama kamu menjalin hubungan dengan kekasihmu?" Bian mencoba mengganti topik.
Laisha mengernyitkan dahi. Namun ia tetap menjawab pertanyaan atasannya, "Delapan tahun, Pak."
"Sejak kuliah, ya?"
Laisha menganggukan kepalanya. Keduanya kembali saling bisu. Untuk beberapa saat, sebelum ponsel Laisha bergetar—menampilkan nama Tian.
"Ya?" jawab Laisha, berusaha untuk bersikap biasa saja di depan Bian. Baginya, sekesal apapun dirinya kepada Tian. Ia tidak ingin memperlihatkannya pada orang lain.
"Aku di depan."
Mata Laisha pun menangkap sosok kekasihnya yang sudah berdiri di samping mobil. Tian tengah menatapnya dan juga Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan sekali saja
RomanceBagi Laisha, setiap waktu yang dilaluinya adalah berharga. Begitupula 8 tahun yang sudah dia habiskan untuk menjalin hubungan bersama Tian-kekasihnya. Saat segala mimpi dan harapan-harapan telah terajut begitu manis dan indahnya, kenyataannya segala...