12

643 51 1
                                    

Setelah izin kepada Arkan. Akhirnya di sinilah Laisha berada. Di depan sebuah hotel berbintang lima. Sebenarnya ini bukan kali pertama dirinya menginjakan kaki di tempat seperti ini. Tian beberapa kali mengajaknya menghadiri acara-acara pertemuan bersama. Bedanya setiap datang ada Tian yang dengan sigap menggenggam tangannya dan berjalan beriringan bersama. Namun sekarang Laisha harus berjalan sendirian dengan perasaan gugup luar biasa. Padahal dia hanya jadi tamu undangan, bukan menjadi mempelai wanita atau menghadiri pernikahan mantan.

Setelah menyerahkan kartu undangan kepada penjaga, Laisha pun memasuki ballroom untuk mencari keberadaan Tian di antara ratusan tamu yang datang.

Ia bersyukur dalam hati karena tidak mengenakan dress panjang yang akan menyulitkan geraknya. Jadi, ia bisa dengan leluasa membawa kakinya untuk berjalan ke sana ke mari. Sampai kemudian dia menemukan keberadaan kekasihnya yang terlihat—sangat tampan.

"Hai!" sapa Laisha seraya menyalami beberapa teman-teman Tian yang tidak asing lagi di matanya.

"Kenapa tidak memberitahuku kalau sudah sampai? Aku bisa menjemputmu di lobi," kata Tian. Lalu ia mencium pipi Laisha tanpa canggung yang langsung disoraki oleh kawan-kawannya. Sedang para istri mereka hanya bisa tersenyum sambil memukuli suaminya agar tidak menggoda Laisha dan Tian.

"Jadi, kapan kalian nyusul? Yang terakhir nih. Atau jangan-jangan udah nentuin tanggal?"

"Kalian tenang saja. Akan aku pastikan undangan sampai di tangan kalian masing-masing," kata Tian seraya tersenyum memandangi wajah Laisha yang sangat cantik malam ini. "Iya, kan, Sayang?" tambahnya lagi. Laisha hanya bisa tersenyum menjawabnya. Lebih tepatnya senyum menutupi kegetiran hatinya akan apa yang terjadi sebentar lagi.

Mungkin di mata semua wanita seharusnya Laisha bersyukur mendapatkan Tian. Dia adalah pria baik yang hanya akan menjaga hatinya untuk satu wanita yang dicintainya. Semuanya terbukti sampai di hubungan mereka yang yang sudah menginjak delapan tahun lebih dua bulan. Tian tidak pernah sekalipun mengkhianatinya. Setiap kali dia pergi bersama rekan kerja atau teman-teman kuliahnya dulu, Tian selalu mengabarinya. Paling-paling mereka bertengkar hanya karena masalah sepele. Kecuali saat bersama Lea—sahabat kecilnya.

"Wah. Akhirnya kisah Tian dan Laisha akan memiliki akhir bahagia."

———


Tian melepaskan jas miliknya, memakaikannya pada pundak Laisha.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Tian ketika Lift terbuka. Laisha masuk lebih dulu, disusul dirinya dan juga beberapa tamu lain yang kebetulan berniat pulang juga.

Melihat isi lift yang cukup padat, Tian pun menarik Laisa untuk berdiri di sudut kanan Lift dengan dirinya yang mengelilingi Laisha. "Kamu membuatku tertutupi," bisik Laisha.

"Yang aku inginkan."

Laisha memanyunkan bibir mungilnya, membuat Tian gemas untuk menciumnya sekarang juga. Untung saja dia ingat jika mereka sedang dikelilingi orang-orang.

Saat Lift tiba di lobi utama hotel. Satu persatu orang mulai berhamburan keluar. Sedang Tian menunggu menjadi yang paling akhir untuk keluar. Tidak lupa, ia menggenggam tangan Laisha layaknya seorang kakak yang takut adiknya akan hilang jika mereka tidak saling menggenggam. Atau lebih tepatnya, Tian ingin menunjukan bahwa wanita cantik dengan gaun berwarna peach selutut tanpa lengan ini adalah miliknya.

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang