8

559 56 2
                                    

Laisha tahu pada akhirnya hari ini akan tiba. Cepat atau lambat apa yang coba ditutupi pasti akan terbongkar juga. Matanya menatap Liana. Untuk kali pertama ia merasa begitu kecewa akan kakaknya.

Bagaimana mungkin kakaknya tidak mengabarinya sama sekali tentang kedatangan kedua orang tuanya. Apa maksud dari semua ini? Kenapa harus secepat ini?

"Saya Christian. Kekasih Laisha, Pak." Laisha memejamkan mata saat Tian memperkenalkan diri kepada ayahnya. Dia tahu sejak awal ayahnya pasti mengenali wajah Tian.

"Sudah malam. Saya tidak pernah memberikan Laisha waktu lebih dari jam 09.00 malam."

Sebuah usiran halus yang disadari Tian dan juga Laisha, membuat Tian pada akhirnya mengalah. Walau sebenarnya ia ingin sekali mengobrol dengan ayah Laisha. Tapi sepertinya dia tahu jika ayah Laisha tidak bisa menerimanya hari ini. Lagi pula dia sendiri sudah benar-benar lelah dan tubuhnya butuh istirahat.

"Kalau begitu saya permisi. Pak, Bu," pamitnya seraya menyalami tangan kedua orang tua Laisha sebelum pergi meninggalkan ruma tersebut.

"Bapak harap kamu mengakhiri hubunganmu dengan kekasihmu itu secepatnya juga," kata sang ayah saat melihat Tian sudah masuk ke dalam mobilnya.

"Pak!" Laisha berniat protes.

"Kamu tahu perbedaan di antara kalian hanya akan membuat kalian terluka. Kenapa masih memakasakan? Di luaran sana masih banyak pria lain, Laisha. Bapak tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Apa kamu berpikir jika kalian bisa bersama? Bapak tidak pernah melarang kamu ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Tapi ingatlah satu. Cari yang seagama dengan kita, Sha. Bukan karena Bapak membencinya. Bapak hanya tidak mau perbedaan itu akan membawa masalah kepada kalian berdua."

Laisha tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya melihat punggung ayahnya yang perlahan menghilang masuk ke dalam kamar.

"Yang Bapak katakan itu benar, Nduk." Rahma mencoba memberi pengertian pada putri bungsunya. Sebagai seorang ibu, jelas dia tahu sebesar apa perasaan Laisha kepada kekasihnya. Apalagi saat mendengar dari Liana jika Tian adalah kekasih pertama Laisha dan selama apa hubungan mereka. Awalnya Rahma terkejut bukan main. Tidak pernah sekalipun dia mengira jika putri bungsunya memiliki kekasih apalagi sampai berhubungan selama bertahun-tahun.

"Bu. Liana ingin Laisha dan Arkan pada akhirnya akan saling menyembuhkan." Begitulah kalimat penutup obrolannya dengan putri sulungnya sore tadi.

"Tapi bukan sekarang, Bu."

"Sha. Usiamu sudah 27 tahun. Kamu tahu di rumah gadis-gadis seusiamu bahkan sudah memiliki keluarga kecil. Sudah saatnya kamu juga berkeluarga."

"Aku tidak akan menikah atas dasar hanya karena usia, Bu. Apalagi sampai dijodoh-jodohkan." Laisha mengusap air mata yang mengaliri pipinya. Lalu, ia melangkahkan kaki meninggalkan ibunya begitu saja. Laisha tahu tindakannya sangatlah tidak sopan. Tapi ia benar-benar merasa kecewa kepada keluarganya malam ini. Terutama pada kakaknya yang selama ini dia percaya sepenuh hati.

Liana mendekati ibunya dan mengelus pundaknya. "Apa kamu yakin mereka akan saling menyembuhkan? Jika tidak, keputusanmu hanya akan menyakiti adikmu, Na."

"Arkan pernah mencintai Laisha, Bu."

"Dulu. Tapi tidak sekarang, Na. Ibu tahu siapa Arkan. Dia tidak akan mau menikahimu jika dia tidak mencintaimu."

"Seperti perasaanya kepada Laisha yang pernah hilang. Cepat atau lambat perasaan itu juga akan hilang, Bu. Apalagi saat aku tidak lagi di sisinya."

*****

Waktu sudah menunjukan pertengahan malam. Tapi mata Laisha masih saja tak kunjung terpejam. Ia mencoba menghubungi Tian. Tapi nomor pria itu justru tidak aktif. Berkali-kali juga dia mencoba mengirimkan pesan. Sayangnya hanya tanda ceklis satu.

Mendesah, akhirnya Laisha memutuskan untuk duduk di teras rumah. Mungkin angin malam bisa membuat hatinya sedikit rileks. Rasanya ingin sekali dia menumpahkan amarahnya pada kakaknya.

"Apa yang kamu lakukan jam segini, Sha?" Laisha melihat Arkan keluar dengan membawa segelas kopi di tangannya. "Tidak bisa tidur karena perkataan Bapak?"

"Kenapa Mas sama Mbak setega itu? Kenapa tidak mengatakan jika Bapak dan Ibu datang?"

"Mas kaget, Sha. Mas juga gak tahu kalau ibu sama bapak datang. Mas pulang pun tidak lama sebelum kamu pulang."

Laisha seakan tidak percaya oleh kata-kata Arkan. Ia berniat untuk masuk. Namun Arkan menahan tangannya. "Duduklah. Biar Mas yang masuk. Kalau kamu butuh waktu sendiri, Mas yang akan pergi."

"Setidaknya pikirkan apa yang bapak katakan, Sha. Jika Tian tidak ingin mengalah. Untuk apa kalian terus bersama?"

"Mas tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjalin hubungan bertahun-tahun. Melepaskan memang semudah saat kita memutuskan untuk mencintainya. Tapi mengikhlaskan dan berhenti mencintai tidak semudah itu, Mas. Mas gak akan tahu karena Mas bukan aku atau Tian."

"Meski Mas bukan Tian atau kamu. Mas juga pernah merasakan bagaimana sakitnya saat Mas harus melepaskan seseorang yang begitu Mas perjuangkan, Sha. Memang tidak mudah. Tapi Mas belajar ikhlas dan berdo'a kepada Tuhan supaya bisa dipertemukan dengan seseorang yang memang sudah ia gariskan."

"Mas pernah mencintai orang lain selain mbak?"

"Sebelum mencintai mbakmu. Mas telah lebih dulu mencintai seseorang. Sayangnya seseorang itu lebih bahagia dan terlihat begitu mencintai orang lain. Jadi Mas bisa apa selain mengikhlaskan?"

"Apa dia tahu?" Laisha semakin penasaran.

"Tidak pernah. Lagipula tidak ada gunanya. Semua sudah menjadi masa lalu. Masa depan Mas sekarang adalah Mbakmu dan juga anak yang dikandungnya."

"Bagus. Kalau sampai Mas masih menyimpan rasa sama orang itu di saat Mas sudah menikah dengan Mbak. Nanti Shasa santet, loh."

Arkan tertawa melihat ekspresi Laisha yang tidak ada seram-seramnya sama sekali.

"Hush! Kamu kalau ngomong, Sha."

"Serius, Mas. Aku walau terlihat imut begini paling gak terima kalau ada yang nyakitin orang-orang yang aku sayang."

"Kalau Mas yang disakitin gimana, Sha?"

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang