10

734 56 0
                                    

Arkan tidak tahu harus seperti apa menghadapi Liana. Semenjak permintaan gila wanita itu sore tadi, Arkan memilih untuk pergi dan menjauh sementara. Ia membutuhkan ruang untuk sekadar mencerna dan memahami apa rencana sebenarnya? Apakah Liana berpikir jika hatinya bisa diatur sesuka hati wanita itu? Tidakkah Liana mengerti jika sekarang, atau bahkan sejak lima tahun yang lalu hatinya sudah berlabuh dan bahkan menetapkan namanya? Kenapa wanita itu masih saja menganggap jika masih ada ruang di hatinya untuk Laisha?

Bagi Arkan, Laisha adalah masa lalu. Sebuah bukti kegagalan akan kepencundangannya yang tak pernah berani mengungkapkan. Atau lebih tepatnya, Arkan sadar diri bahwa Laisha tidak pernah menganggapnya lebih dari sekadar kakaknya—mengingat sejak kecil mereka terbiasa bersama. Mungkin salahnya karena tidak mau memperjuangkan atau sekadar jujur tentang perasaan. Arkan lebih memilih untuk berpikir realistis. Untuk apa dia menjabarkan perasaan dan memperjuangkan hati yang jelas-jelas tidak pernah memihak kepadanya, bukan? Alasan mengapa pada akhirnya Arkan memilih untuk merelakan dan melabuhkan pilihannya pada Liana bukan semata untuk menjadikan wanita itu sebagai pelarian.

Arkan berani bersumpah. Semua yang dia lakukan, semua yang dia korbankan adalah ketulusan akan perasaan yang dia miliki untuk Liana. Arkan tidak pernah memaksakan wanita itu untuk mencintainya. Bukan berarti Liana jadi bertindak seenaknya dengan mengatur-ngatur urusan hatinya. Bisakah dia mengerti jika rasa cinta yang dimiliki Arkan tidak akan secepat itu berhenti seperti saat dirinya memutuskan untuk melabuhkan hati.

Setelah mengirimkan pesan kepada Laisha. Arkan pun memilih menunggu adik iparnya itu di dalam mobil. Lima menit sudah berlalu. Tapi sosok Laisha masih belum juga terlihat.

Sampai kemudian ponselnya berdering nyaring menampilkan nomor Liana.

"Ha—" Belum sempat dia menjawab, Suara ibu mertuanya lebih dulu memotong kalimatnya.

"Arkan! Liana dibawa ke rumah sakit sekarang." Setelahnya panggilan itu terputus begitu saja tanpa sempat Arkan bertanya kepada ibu mertuanya.

Arkan pun dengan cepat melajukan mobilnya tanpa mau menunggu Laisha lagi.

Ia menghubungi Laisha dengan cepat untuk memberitahu tentang Liana.

"Ya, Mas! Seben—"

"Sha! Mbamu dibawa ke rumah sakit. Mas gak bisa nunggu kamu. Kamu langsung ke rumah sakit aja."

"Kenapa? Bukankah belum waktunya melahirkan?"

"Mas gak tahu. Udah ya, Sha. Assalamualaikum."

*****

Tiga puluh menit kemudian, Arkan sampai di rumah sakit—di mana Liana berada. Sesekali meremas-remas tangannya, Arkan mencoba untuk mengatur diri agar tetap berusaha tenang.

Ia mencari lift, sayangnya enam lift utama rumah sakit membuatnya harus menunggu lama. Merasa tidak bisa menunggu lagi, Arkan memutuskan untuk menaiki tangga darurat menuju lantai delapan.

Dulu, sebelum dia memutuskan untuk mempertanggung jawabkan atas apa yang tidak dia lakukan, seluruh temannya menganggapnya gila. Bagaimana bisa dengan bodohnya Arkan menikahi Liana yang tengah mengandung anak pria lain. Bahkan, dirinya rela dicaci dan dinilai negatif sampai dibenci oleh orang-orang sekelilingnya.

"Untuk apa sih kamu repot-repot bertanggung jawab. Sudah cukup kamu berkorban perasaan untuk dua wanita itu. Apa kamu juga ingin mengorbankan seluruh hidupmu hanya untuk orang yang bahkan menyadari perasaanmu saja tidak pernah."

Bodohnya, dia begitu percaya akan pepatah "jika cinta bisa tumbuh seiring waktu berjalan." Kenyataannya? Pepatah sederhana itu hanya sekadar pepatah belaka. Cinta tetap tidak bisa tumbuh di hati Liana. Semakin hari Arkan memupuk harapan serta angan, mencintai Liana setiap harinya hingga ia benar-benar menciptakan lautan di hatinya berisikan satu nama yang tidak pernah sama sekali berniat untuk tenggelam di dalamnya.

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang