'Puncak dari kesabaran luar biasa adalah ketika kamu diam. Padahal di dalam hatimu ada luka menganga yang ingin kamu suarakan. Puncak dari kekuatan adalah saat kamu tetap berusaha tersenyum walau kenyataannya kau hanya sedang berjuang untuk menyeka ribuan air matamu yang siap untuk tumpah.'
_____
Arkan memandang jam kecil yang terletak di sisi meja nakas ruang tamu. Sedari tadi dia berusaha untuk tenang, namun rasanya gagal. Berkali-kali dia mencoba mengintip dari balik tirai jendela, berharap apa yang dia cari bisa dia dapatkan. Namun kenyataannya tidak.
Waktu sudah menunjukan pukul 10.00 malam. Tapi tanda-tanda kedatangan Laisha masih belum nampak juga. Ia telah menghubungi Yuni. Wanita itu pun mengatakan jika Laisha sudah lebih dulu pergi meninggalkan hotel. Entah dengan siapa? Yuni tidak mengetahuinya.
Arkan pun sudah mencoba menghubungi Laisha. Tapi sepertinya Laisha memang benar-benar tidak berniat mengangkatnya. Sampai kemudian suara mesin motor berhenti tepat di depan rumahnya. Arkan pun langsung membuka pintu dan berniat untuk memarahi Laisha-bukan, ia terlalu mengkhawatirkannya. Tapi saat ia bersiap untuk mengeluarkan kata-katanya, mulutnya mendadak bungkam. Keseluruhan tubuhnya kaku saat Laisha berlari dan memeluknya begitu saja. Keduanya saling diam. Arkan pun tidak berusaha mengelak ataupun memprotesnya.
Tapi bibirnya tiba-tiba saja berbicara, "Apa kamu masih kuat, Sha? Atau hanya sekadar berusaha untuk tetap baik-baik saja?"
Laisha tetap tidak menjawab. Namun dalam hatinya betapa ia ingin menjerit, menyuarakan semua rasa sakit dan kenyataan yang terus-menerus melukainya. Ia hanya ingin bahagia. Apakah Tuhan sesulit itu mengabulkan harapannya selama ini?
Apa memang dirinya sudah melakukan kesalahan begitu besarnya hingga terus-menerus diberikan kejuan luar biasa? Tapi apa? Apa yang sudah dia lakukan. Karena setiap orang tidak akan pernah sadar kesalahan apa yang sudah mereka lakukan.Laisha menggeleng dalam pelukan Arkan. Tapi tidak ada isakan yang Arkan dengar. Begitu juga kausnya yang masih tetap kering. Arkan tahu yang Laisha butuhkan sekarang adalah waktu. Waktu untuk dirinya sendiri. Sehingga yang dia lakukan hanyalah membalas pelukan Laisha, berharap apa yang dia lakukan membantu sedikit saja.
"Sakit, Mas." Arkan merasakan cengkaraman pada kausnya. Ia membelai rambut Laisha-lembut. "Tapi aku sudah cukup membuang air mataku. Aku lelah."
"Hatimu butuh istirahat."
Laisha mengangguk.
"Kalau begitu kita harus masuk, Sha. Khanza sendirian di dalam."
Teringat nama Khanza, Laisha pun segera melepas pelukannya dan berlari ke dalam. Ia ingin melihat wajah bayi kecil itu. Karena sekarang hanya Khanza satu-satunya obat penenang untuknya.
Arkan menghela nafas saat melihat Laisha pergi meninggalkannya begitu saja. Benar, Laisha membutuhkan Khanza dibanding dirinya.
---—
Laisha masuk ke dalam kamar Arkan setelah meminta izin kepada pria itu untuk mengambil Khanza dan membawanya ke dalam kamar. Tapi Arkan malah menyuruhnya untuk memakai kamarnya saja. Hanya malam ini. Satu malam saja—begitu pikir Laisha.
Dia juga tidak memikirkan semua sikap Arkan yang berubah. Walau ia juga menyadari, tapi otaknya hanya mencerna, 'Mungkin, perubahan ini hanya karena Arkan merasa kasihan padanya. Besok segalanya akan kembali sama.'
Khanza terlelap di atas kasur kecil yang ditaruh tepat di tengah-tengah ranjang besar Arkan. Mata bayi itu terpejam begitu damai. Rasanya Laisha begitu iri, mungkin hanya saat dirinya menjadi bayi seperti Khanza, segalanya tidak serumit ini.
Perlahan ia naik ke atas ranjang, tangannya menyentuh tangan mungil Khanza, menempatkan telunjuknya di dalam genggaman jari-jari mungil tersebut. Harum minya telon serta bedak bayi benar-benar sedikit membantu menenangkannya.
"Za. Semakin menjadi dewasa, kamu akan merasakan lelah tak berkesudahan. Suatu hari, saat kamu memutuskan untuk mencintai, kamu juga harus mempersiapkan hatimu patah dan terluka. Karena jatuh cinta adalah tentang siap kehilangan kapan pun itu."
"Dan sekarang, hati tante telah dileburkan seutuhnya oleh pria yang katanya begitu mencintai. Ternyata benar kata papa kamu, Za. Satu-satunya cara hanyalah belajar mengikhlaskan. Sebab sejak awal semesta hanya mempersilahkan kami untuk memulai harapan namun tak mengizinkan segalanya menjadi kenyataan."
Mata Laisha terpejam, perlahan-lahan ia terbawa dalam damainya mimpi. Berharap mimpi malam ini tidak lagi menyangkut dirinya dengan Tian. Ia ingin menghilangkan pria itu, ia ingin menghapus segalanya. Meski tidak mudah, namun ia akan tetap berusaha.
————
Arkan masih belum tidur, sedari tadi dia hanya berdiri di samping pintu kamarnya. Ia pikir Laisha akan menangis. Tapi yang ternyata tidak. Bukannya lega, Arkan justru terlihat begitu khawatir.
Samar, dia mendengar suara Laisha. Seperti tengah mengajak Khanza berbicara. Atau justru memang itu cara Laisha untuk mengurangi perasaan sesak yang menghimpit dadanya?
Arkan menyandarkan punggungnya ke dinding. Kedua tangannya bersilang dada. Matanya menatap langit-langit rumah. "Kamu memang tidak bisa mengendalikan perasaan. Tapi kamu bisa memutuskan kepada siapa hatimu dilabuhkan seutuhnya, Sha. Jika suatu hari kamu bertemu pria yang benar-benar pantas mendapatkanmu. Tiba saatnya Mas melepaskanmu dan menyelesaikan permintaan almarhum mbakmu."
Arkan janji, kali ini dia akan memastikan seperti apa pria yang pantas bersanding dengan Laisha.
Ia berjalan memasuki kamarnya. Mematikan lampu kamar dengan mengganti lampu tidur yang berada di atas meja nakas samping tempat tidur. Wajah Laisha begitu berantakan. Rambut yang kusut, dengan sisa-sisa maskara yang sedikit berantakan—membuat kantung matanya agak menghitam. Atau justru memang selama belakangan ini Laisha kurang tidur?
Dengan hati-hati Arkan melepaskan tali rambut yang masih mengikat rambut Laisha. Kemudian menarik, memasangkan selimut untuk menutupi sebagian tubuh Laisha yang terekspos karena wanita itu mengenakan dress. Dengan menahan nafas, Arkan pun segera mungkin menyelesaikan apa yang harus ia lakukan.
Ia harus keluar secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan sekali saja
RomanceBagi Laisha, setiap waktu yang dilaluinya adalah berharga. Begitupula 8 tahun yang sudah dia habiskan untuk menjalin hubungan bersama Tian-kekasihnya. Saat segala mimpi dan harapan-harapan telah terajut begitu manis dan indahnya, kenyataannya segala...