6

611 44 0
                                    


Setibanya di depan kantor Tian, seoarang security yang sudah mengenalnya dengan baik pun menyapa Laisha seperti biasa.

"Lama gak kelihatan, Bu," kata Pria yang usianya lebih muda darinya tersebut dengan nama Slamet.

"Iya. pak Tian kan sibuk terus sekarang," jawab Laisha.

Slamet membenarkan. Ia sendiri tahu bagaimana sibuknya jadwal atasannya dua tahun belakangan ini. Karena Tian mulai menambah usahanya ke ranah arsitektur dan interior design. Tidak melulu fokus pada usaha awalnya yang hanya bergerak pada bidang desain grafis saja. Tidak heran jika saat ini Tian sudah memiliki kantor tetap, di mana tidak harus berpindah-pindah tempat lagi seperti dulu. Walau sebenarnya Tian bisa meminta bantuan kedua orang tuanya yang kaya, namun pria itu sangat enggan meminta.

Slamet mengantar Laisha menuju lift yang akan membawanya ke lantai ruangan atasannya. "Silahkan, Bu."

"Makasih, ya, Met."

Slamet tersenyum—sopan, sampai pintu lift itu tertutup.

****

Laisha berjalan menuju meja sekretaris Tian.

"Mba Laisha," sapa Juni. Berbeda dengan Slamet yang memanggilnya 'Bu', pada Juni, Laisha meminta gadis itu memanggilnya 'mbak' saja. Meski beberapa kali Juni menolak dengan alasan tidak enak. Tapi Laisha juga mencoba mengingatkan bahwa dirinya kurang nyaman. Akhirnya Juni pun menuruti.

"Hai, Jun! Aku ke ruang Tian dulu."

Setelah membalas sapaan Juni, Laisha bergegas masuk ke ruangan Tian.

Dia mengetuk pintu terlebih dahulu, barulah membukanya. Dari tempatnya berdiri, ia melihat Tian nampak fokus dengan laptopnya dan juga Revan—partner kerja sekaligus sahabatnya yang membantu mendanai usaha mereka sejak awal.

"Lagi sibuk?" tanya Laisha secara langsung.

"Aku sih, enggak, Sha. Paling kekasihmu itu." Revan menjawab—jujur.

Tian yang sedang fokus memeriksa proyek desainnya pun lantas meninggalkannya sebentar untuk menyambut kedatangan Laisha.

"Lagi desain apa?"

"Temenku yang di Bali minta buatin desain rumahnya. Rencana dibangun bulan depan. Jadi lagi ngitung sama cek-cek ada yang kurang apa enggak."

Revan pun pamit untuk memberi ruang kepada Laisha dan Tian.

Tian mengangguk—mempersilahkan. Ia selalu berterima kasih meski bersama Revan sering adu argumen pekerjaan, setidaknya untuk masalah saling pengertian. Cuma Revan yang patut diacungi jempol.

"Kamu gak ke kantor?" tanya Tian seraya melirik jam tangan miliknya. Waktu sudah memasuki pukul 09.00 pagi. Biasanya Laisha akan memilih masuk kantor pukul setengah sepuluh atau jam sepuluh. Bekerja di salah satu perusahaan startup memang cukup menyenangkan untuk urusan masuk kantor. Tapi perihal waktu kerja, kadang kala tidak terjadwal. Bisa saja di hari libur pun ia harus bekerja jika ada klien yang menginginkan meeting dilakukan. Pun dengan urusan jam pulang kerja. Tapi satu hal yang sangat disukai Laisha dari tempat kerjanya sekarang adalah lingkungan kerja yang nyaman serta teman-teman yang saling membantu satu sama lain. Apalagi kenyamanan fasilitas yang disediakan kantor mereka sekarang.

"Nanti. Sejaman lagi. Aku mampir sebentar aja, kok."

Laisha memberikan kopi yang dia beli tadi di lobi gedung.

"Kangen?"

"Enggak," bohong Laisha. Pada kenyataannya dia memang rindu. Selama sebulan ini Tian begitu sibuk keluar kota mengurusi kerjaannya.

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang