11

620 48 1
                                    

'Dua hati yang terikat tapi tak saling berada di satu tempat. Mungkinkah menjadi kisah yang tepat?'

_____

Laisha termenung di dalam kamarnya. Sudah lebih dari satu bulan dia menghindari Tian, memberi berbagai macam alasan hanya untuk menolak bertemu. Sejujurnya bukan karena dia tidak merindukan sosok itu. Melainkan ia tengah memikirkan bagaimana cara untuk mengakhiri hubungannya bersama Tian. Sebab bagaimanapun statusnya kini telah sah menjadi istri dari seorang Arkan. Arkan tidak pernah berbicara semenjak hari di mana mereka sah menjadi suami istri.

Pria itu seakan benar-benar membangung tembok pembatas di antara mereka berdua. Tak ada lagi kalimat-kalimat gurauan atau senyum hangat yang sering dia lihat pada wajah pria itu. Arkan selayaknya dingin yang tak pernah mengizinkan siapapun untuk menyentuhnya. Laisha tahu pria itu benar-benar terluka. Kehilangan adalah hal yang paling dibenci setiap orang. Apalagi menyangkut seseorang yang kita sayangi.

Tapi apakah Arkan tahu bahwa di sini Laisha juga sama. Ia juga terluka kehilangan sosok kakak yang begitu dia sayangi. Apalagi saat menatap mata kakaknya yang begitu sayu. Saat di mana Liana memohon agar dirinya mau menikah dengan Arkan, Laisha hanya bisa menganggukan kepala meski sebenarnya dia sendiri tidak sadar akan apa yang tengah dia lakukan.

Dari cela pintu kamarnya dia melihat Arkan tengah duduk—memangku Khanza. Pria itu tidak tersenyum, terlalu banyak diam dan melamun. Jikapun tidak, paling fokus Arkan akan dialihkan pada segudang kerjaan. Jika seperti itu saatnya Laisha yang mengambil tugas untuk mengurusi Khanza.

Walau sebenarnya mereka bisa menyewa suster untuk mengurusi Khanza, Laisha menolaknya. Dia tidak percaya untuk menyerahkan pengurusan Khanza pada orang lain.
Ia takut karena teringat beberapa video yang beredar, di mana video itu menunjukan kelakuan buruk seorang perawat anak kepada anak-anak yang diurusnya. Ia tahu tidak semua perawat bersifat buruk. Kebanyakan juga mereka baik dan tulus. Tapi tetap saja Laisha masih tidak bisa memberikan kepercayaannya.

"Mas. Sini biar Khanza sama aku."

"Gak perlu. Malam ini aku bisa menjaga Khanza."

Jika sudah seperti ini Laisha hanya bisa menuruti. Ia tak ingin berdebat dan membuat Arkan marah.

"Mas mau dibuatkan sesuatu?" Laisha mencoba bertanya  sekali lagi—sekadar berbasa-basi, berharap jika akan ada obrolan di antara mereka berdua. Ia lelah terus seperti ini. Ia tidak ingin keasingan ini semakin membuatnya tidak nyaman.

Arkan menggeleng. Ia berdiri, kembali berniat menghindari Laisha. Dan Laisha benar-benar jengah.

"Mas. Bisakah Mas bersikap seperti dulu dan mengabaikan status kita? Aku tidak berniat sekalipun menggantikan tempat mba Nana. Tapi bisakah Mas sedikit saja menganggap kehadiranku? Bagaimanapun tugasku adalah mengurusi kalian."

"Apa kamu menganggap pernikahan ini nyata?"

"Mas pikir pernikahan ini main-main?"

"Bagaimana kalau Tian mengetahuinya?"

"Aku akan mengatakan semuanya pada Tian."

"Untuk apa?"

"Sudah tiba waktunya untuk aku mengakhiri semuanya. Bukan karena aku berhenti mencintainya sama seperti Mas yang akan selalu mencintai mba Nana. Bedanya aku ingin mulai belajar merelakan atas hubungan yang memang harus diikhlaskan."

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang