05

667 56 1
                                    

"Mas mau makan?" Laisha bertanya saat Arkan keluar masih dengan pakaiannya yang belum diganti. Wajah lelahnya benar-benar kentara jelas, membuat Laisha merasa kasihan.

Malam ini niatnya ia ingin membuat nasi goreng untuknya sendiri sehingga porsi yang dimasak pun hanya sedikit.

"Kamu yakin nawarin, Mas?" Arkan melirik piring berisi nasi goreng yang bukan porsinya. "Kamu gak diet, Sha? Biasanya cewek yang masih gadis itu takut sama makan malam. Ini kamu udah mau tengah malam gak kesambet?"

"Ih. Mas Arkan tuh kalau ngeledekin aku suka semangat banget."

Arkan melipat lengan kemejanya, lalu menyentuh ujung kepala Laisha. "Pacar kamu pasti ketawa lihat kamu kayak gini. Pakai setelan piyama panjang hello kity. Dengan bandana pita warna pink. Kamu itu udah jadi wanita, Sha. Udah saatnya nikah juga."

"Mas, walau udah saatnya. Kalau yang ngelamar aja belum ada. Mau gimana lagi? Lagian pakaian itu senyamannya kita. Jadi Mas mau gak?"

"Gak deh. Buat kamu aja. Mas masak mie instant aja. Kamu bikinin teh, ya?"

"Gak pake gula, ya?"

"Iya, Dek. Kakakmu gak suka manis."

Laisha pun mengambil bungkusan teh dari dalam laci yang memang dikhusukan untuk menyimpan teh dan kopi.

Ada satu pack black tea, earlgrey tea dan juga green tea. Laisha mengambil dua bungkus. Green tea untuknya. Earlgrey tea untuk Arkan.

Dia mengisi teko listrik dengan air kemudian menekannya untuk menunggu air mendidih.
Sambil menunggu, dia sesekali memakan nasi gorengnya seraya melihat Arkan yang tengah memasak.
Dari satu bungkus mie yang dimasak, Arkan mengisinya dengan sayuran hijau yang lebih banyak.

"Apa enak, Mas? Itu nanti kuah mie gak ada rasanya."

"Sengaja."

"Telornya masih mentah, Mas."

"Ini enak loh, Sha. Mau cobain?"

Laisha langsung menolaknya. Ia benci telor setengah matang—di mana bagian merah telur masih mentah. "Buat Mas aja, deh."

"Enak, Sha. Hayu cobain, Aaa...."

"Ih. Gak mau, Mas."

"Hahaha." Arkan tertawa saat melihat Laisha menjauhkan diri dengan membawa piring nasi gorengnya. "Udah-udah, sini. Makan sayur aja. Kamu tuh dari kecil kenapa sih susah banget makan sayur. Pantes gak tinggi-tingi."

"Mas juga bahagia banget kalau ngeledek aku. Kayak simpenan bahannya banyak banget. Gak habis-habis." Laisha mencibir, tapi tetap menuruti perkataan Arkan untuk mengambil sayuran dari mangkuk mie milik Arkan. "Lagian kalau aku tinggi takut nanti direkrut jadi model."

"Kamu itu pemalu. Gak bakalan mau jadi model. Main media sosial aja gak suka."

"Suka kok, Mas. Buat ajang memamerkan karya aja."

—————

Ada beberapa hal yang tidak diketahui mereka tentang Arkan dan dirinya—Liana. Dalam temaramnya lampu kamar, ia tersenyum melihat obrolan yang terjadi di antara Arkan dan adiknya. Satu pemandangan yang begitu dia rindukan. Di mata Liana—Arkan akan menjadi sosok pria yang lembut dan penyayang hanya kepada Laisha dan dirinya.

Kemudian, mata Liana memandangi jemari manis yang terlingkari cincin pernikahan dari Arkan. Seharusnya bukan Arkan yang memasangkan cincin ini. Seharusnya bukan Arkan yang harus menanggung segala kebodohan dan kesalahan yang dia lakukan. Seharusnya bukan Arkan yang menjadi perisai pelindungnya hingga membuat pria itu berkorban sedemikian besarnya hanya untuk sebuah rasa cinta yang masih belum bisa dihadirkan hatinya.

Ribuan kata terima kasih tidak akan mampu membayar semua pengorbanan Arkan untuknya.

Pelan, Liana menutup rapat pintu kamar tidurnya. Membiarkan dua orang itu terbiasa menikmati waktu bersama. Semoga apa yang ia harapkan suatu saat bisa dikabulkan semesta.

—————

"Berangkat bareng, Sha?" Arkan menawarkan diri untuk mengajak Laisha berangkat menuju kantor bersama. Laisha yang sama sekali tidak mengerti pun lantas bertanya, "Kok, Mas ngajak aku berangkat bareng?"

"Mas perlu ketemu sama client dekat kantormu."

"Tapi aku sedang malas masuk kantor jam segini, Mas."

"Terus kenapa kamu udah siap-siap?"

"Mau nemuin Tian ke kantornya dulu. Kan, deketan juga."

"Yaudah, Ayo! Mas anterin sekalian aja."

Laisha nampak menimbang sesaat. Lalu dia menganggukan kepalanya. Lumayan juga dikasih tebeng. Selain gratis, dia juga bisa ngadem pake Ac mobil.

Arkan yang sudah siap, tak lupa untuk menyempatkan diri mencium dahi Liana sebelum pergi. Sebuah kegiatan yang mulai jadi kebiasaannya. Begitu juga respon Liana yang tidak lagi canggung ataupun kaku.

"Aku berangkat dulu. Jangan lupa kabari aku jika ada apa-apa," ucapnya seraya mengelus pelan perut Liana yang membuncit. "Makan yang banyak. Badan kamu semakin hari semakin kurus dan pucat."

"Apa kamu tidak mau periksa ke dokter?" Gurat khawatir dari wajah Arkan lagi-lagi terlihat.

Liana tetap menggelengkan kepalanya. "Aku akan baik-baik saja." Setidaknya, itulah keputusan yang sudah diambilnya sejak seminggu yang lalu.

"Bukan kata 'Akan' yang ingin aku dengar, Na. Tapi kamu harus baik-baik saja."

"Iya. Aku pasti baik-baik saja, Ar. Sudah cepat berangkat. Katanya mau bareng Laisha."

Liana mencium tangan Arkan, kemudian mengantarnya sampai depan pintu.

Hari ini ia ingin menghubungi ibunya. Ia ingin menemui kedua orang tuanya—terutama ayahnya. Liana tahu ia sudah membuat kecewa ayahnya. Tapi dia harus memberitahu yang sebenarnya tentang Arkan. Mungkin, dia juga harus menitipkan pesan kepada kedua orang tuanya.
Semoga ayahnya sudi untuk datang dan memaafkannya. Karena kini keadaan sudah tidak memungkinkan bagi Liana untuk bepergian jauh.

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang