3

678 59 0
                                    


"I love you," ucap Laisha di sela-sela ciuman Tian yang mulai menjelajahi lehernya. Tian membuka dua kancing kemeja Laisha. Kemudian dia memberikan satu tanda merah tepat di dada Laisha dengan mudah.

"Apa aku menyakitimu, Sha?" tanya Tian saat menyadari ada bulir membasahi pipi kekasihnya. "Maafkan aku."

Laisha tidak menjawab, dia hanya bisa memeluk erat Tian. Begitu juga Tian yang membiarkan Laisha mendekapnya. Ia hanya mencoba menenangkan dengan cara membelai sayang rambut Laisha dengan gerakan lembut.

"Apa alasan kamu bertahan, Tian?" tanya Laisha tiba-tiba. Kali ini, dia merubah posisinya. Bersandar pada bahu Tian sambil menatap lampu-lampu malam kota Jakarta.

"Karena kamu ingin dipertahankan, Sha. Aku tidak akan bertahan dengan orang yang tidak mau aku pertahankan."

"Jika pada akhirnya aku yang memilih untuk menyerah lebih dulu?"

"Aku tidak akan membiarkan kamu menyerah."

Tian menarik salah satu tangan Laisha. Kemudian membuka telapak tangan mungil itu.

"Kamu tahu saat aku memintamu untuk menuliskan mimpi-mimpi dalam selembar kertas A4 5 tahun yang lalu?"

Laisha menganggukan kepalanya. "Dan aku mengatakan, bahwa mimpi yang kamu tulis adalah mimpiku juga. Aku berusaha mewujudkannya."

"Termasuk Apartement ini."

"Aku hanya butuh satu alasan untuk bertahan. Namun untuk melepaskanmu? Aku belum menemukan alasannya, Sha."

"Jadi.... kalau nanti kamu bosan. Tahan ya, Sha. Karena aku akan mencintai kamu sampai waktu yang belum kupastikan."

Laisha tidak memberikan respon apapun. Lagi pula, saat ini ia hanya ingin menikmati waktunya bersama Tian. Dia masih ingin bertahan. Dia masih ingin memiliki Tian di sisinya.

Meski pada akhirnya ia harus melepas tanpa menunggu untuk dilepas, setidaknya untuk saat ini ia ingin memohon pada semesta. Perlambatkan waktu untuk mereka berdua. Sampai tiba waktunya dia siap untuk kehilangan setengah mimpinya. Yakni .... Tian.

Pelan-pelan, mata Laisha terpejam

————

Tengah malam, Laisha keluar dari kamarnya. Ia bermaksud untuk mengambil air di lantai bawah karena merasa kerongkongannya kering. Namun matanya menyipit saat satu persatu kakinya menapaki tangga. Ia melihat Arkan tengah duduk—termenung di meja makan sendirian. Wajahnya seperti frustasi.

"Mas!" Laisha memanggilnya seraya memegangi pundak Arkan. "Belum tidur?"

Arkan hanya menjawabnya dengan seulas senyuman seraya mematikan puntung rokoknya karena Laisha tidak menyukai asap rokok.

"Kamu kenapa bangun?"

"Tenggorokan gak enak. Pengen minum."

Arkan yang kebetulan duduk berdekatan dengan botol kaca berisi air mineral pun mengambil gelas dan menuangkannya untuk Laisha.

Laisha menerima seraya mengucapkan terima kasih. Lalu ia duduk di kursi yang bersebrangan dengan Arkan.

"Tian masih cemburu sama, Mas."

"Gak usah ditanggepin, Mas. Tian itu cemburu ke semua pria juga. Apalagi Mas Arkan kan sejak dulu bareng sama Shasha. Tapi kenyataannya yang disukai Mas adalah Mba Nana bukan aku. Tian kalau cemburu suka gak pake akal."

"Karena dia terlalu mencintai kamu, Sha."

"Ya. Shasha juga tahu, Mas. Tapi kadang sifat cemburu yang keterlaluan itu malah jadi boomerang dalam hubungan. Dia jadi akan banyak menuntut dan mengekang. Shasha gak mau."

"Tapi kamu betah sama dia. Kamu juga terlihat begitu mencintainya."

"Kentara ya, Mas?"

"Jelas."

"Duh! Jadi malu."

"Dasar. Udah 27 tahun kelakuan kayak masih 21 tahun."

"Yang penting muka itu selalu terlihat Abg, Mas!"

"Abg apa'an? Muka kayak gitu Abg?" Arkan mencibir—bercanda. "Itu uban aja udah kelihatan."

"Ish, Mas. Mana ada uban? Jangan ngaco deh."

Laisha memukul Arkan dengan ekspresi setengah sebalnya. Kadang-kadang beginilah, Arkan. Paling hobi sekali meledekinya sejak kecil. Giliran ke mbaknya aja selalu memuji. Emang sih, ketimbang mbaknya Laisha itu cuma dapet setengahnya. Liana serba bisa. Cerdas? Sudah terbukti dengan beasiswa yang dia raih. Cantik? Sangat cantik, walau kulitnya tidak seputih kulit Laisha. Nana cenderung memiliki warna kulit kuning langsat bersih. Hanya saja Nana pintar mencocokan penampilannya dengan riasan wajahnya. Ditambah lagi Nana memiliki ambisi tinggi untuk menjadi wanita karier yang sukses.

Itulah sebabnya, meski usia Nana sudah akan memasuki 30 tahun. Nana masih santai saja dan enggan memikirkan pernikahan. Laisha yakin, jika kakaknya tidak hamil, Nana pasti masih enggan menyandang status istri dan calon ibu.

Sangat berbanding terbalik dengan Laisha yang menyukai segala kesederhanaan. Sejak dulu, Laisha cenderung pemalu. Dia tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi seperti kakaknya. Makannya, selama hidupnya 27 tahun ia hanya menjalin hubungan bersama Tian saja. Tidak ada satupun deretan mantan seperti kakaknya.

Jangankan untuk mengoleksi mantan. Sekadar mengagumi seseorang saja sampai sekarang hanya bisa dipendam Laisha dalam hati.

Laisha tidak begitu menyukai karier. Cita-citanya hanya ingin menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi lambat laun pikirannya terbuka. Bagaimanapun ia harus mendapatkan seorang pria yang mampu bertanggung jawab. Begitu juga waktu yang sudah dia habiskan untuk menemani Tian dalam berproses hingga bisa sampai sesukses sekarang. 

Seharusnya mereka sudah dalam tahap mewujudkan satu persatu mimpi-mimpi mereka.

"Mikirin hubungan kamu sama Tian?" Pertanyaan Arkan membuyarkan ruang lamunan Laisha.

"Jangan nyerah, Sha. Perjuangkan apa yang menurut kamu harus diperjuangkan. Kadang kala dalam berjuang memang harus dibarengi pengorbanan."

"Laisha gak mau bikin bapak sama ibu kecewa, Mas. Sudah cukup Laisha melihat raut kecewa bapak karena mba Nana. Bapak tidak akan menyetujuinya."

"Kalau begitu minta Tian yang mengalah."

—————

Jangan bosen menungguku update cerita ini, ya? 😂 mohon maaf kalau tidak sesuai dengan bayangan kalian. Intinya nikmati aja dulu lah. Namanya juga di awal-awal.

Oh ya! Tap love dan komennya yak!

Izinkan sekali sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang