"Mencintai adalah takdir, Sha. Perasaan yang dipaksakan tidak akan berakhir membahagiakan."
"Kita sama-sama tahu membunuh rasa pada kenyataan yang sering kali mengingkari harapan juga sama sulitnya, Mas? Tapi tidak, kah, Mas menyadari sebesar apa usahaku untuk menyembuhkan diriku sendiri."
Arkan menyentuh salah satu punggung tangan Laisha, saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, Ia pun menghadap Laisha. "Kalau kamu ingin menjadikan Mas sebagai bahan pelarianmu sementara, Mas akan izinkan. Tapi jangan pernah berpikir untuk mencintaiku, Sha. Kita tidak akan pernah bisa bersama."
"Karena Mas tidak menginginkanku."
"Banyak pria yang lebih pantas menjadi teman hidupmu."
"Dan menurut Mas, Pak Bian salah satunya?"
Arkan pun mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Laisha.
****
Satu bulan setelah percakapan yang terjadi di antara dirinya dan juga Arkan, Laisha mulai menyadari sikap Arkan yang begitu bersikeras membuat dirinya dekat dengan Bian. Salah satunya adalah dengan kerap kali memaksa Laisha untuk mau menerima ajakan Bian keluar, atau dengan sengaja meninggalkan Laisha dan berakhir dengan Bian yang akan datang menjemputnya.
Seperti malam ini. Lagi-lagi ia mendapati Bian datang mengunjunginya.
"Mau keluar?" tanya Bian dengan senyum manis menawarkan diri untuk mengajak Laisha pergi yang kesekian kalinya. Pria itu tampak begitu santai meski hanya mengenakan kemeja yang sudah agak kusut karena bagian lengannya yang tergulung. Namun Laisha juga tidak bisa menampik kenyataan jika pesona Bian tidak bisa pudar hanya karena wajah lelah dan kemeja kusutnya.
"Apa Mas Arkan mengabarimu jika aku sendirian di rumah?"
"Ya," jawab Bian jujur. "Tapi mengajakmu keluar adalah inisiatifku sendiri meski aku tahu kamu akan selalu menolak ajakanku. Mungkin kali ini alasanmu karena malas berganti pakaian," sindirnya dengan tepat. Tapi Bian tidak pernah menatap Laisha tanpa memberikan senyumnya.
"Aku--" baru satu kata terucap dari bibir Laisha, Bian sudah lebih dulu menariknya dengan paksa.
"Aku tahu kamu menggunakan piyama tidurmu. Kamu tidak perlu menggantinya."
"Bapak mau ngajak saya ke mana?"
"Bian, Sha. Panggil aku Bian." Bian membuka pintu mobil untuk Laisha, mempersilahkannya agar masuk.
Akan tetapi Laisha malah diam--menahan dirinya agar tidak masuk ke dalam mobil.
"Sha. Mau aku gendong atau aku dorong paksa?"
Akhirnya Laisha pun menyerah dan menuruti kemauan Bian. Melihat itu, Bian pun tersenyum senang. Ia dengan segera menutup pintu dan berlari memasuki pintu kemudi.
"Temani aku makan."
"Terserah," jawab Laisha acuh. Ia membuang wajahnya ke samping. Namun tiba-tiba merasakan Bian mendekatinya. "Apa yang ingin kamu lakukan?" tanyanya sedikit panik.
"Menciummu. Tapi aku tidak ingin melakukannya secara paksa," jawab Bian dengan wajah jailnya yang kemudian menarik seat-belt dan memasangkannya untuk Laisha.
"Jangan kurang ajar, deh, Pak."
"Kalau sekali lagi kamu manggil aku 'Pak', Aku benar-benar akan menciummu, Sha."
"Saya akan melaporkan Ba--" Bian langsung mendekatkan wajahnya dalam jarak beberapa senti, membuat Laisha langsung melotot dan menutup bibirnya menggunakan kedua tangannya, "Bian! Bian, Bian, Bian!" teriaknya.
Bian pun terbahak dan dengan segera mulai menyalakan mesin mobilnya.
"Apa yang ingin kamu makan?"
"Tidak ada."
"Kalau begitu aku akan mengajakmu ke Restaurant atau mall saja. Jam segini masih buka."
"Kamu mau saya bunuh?"
"Tenaga kamu terlalu kecil untuk membunuhku, Laisha."
"Bukan berarti otakku juga bodoh, Bian."
Seketika Bian tertawa mendengar ucapan Laisha serta wajah kesal wanita itu. "Bisa-bisanya hatiku jatuh kepada wanita seperti kamu, sih, Sha."
****
Setelah hampir empat puluh menit mereka berkeliling mencari tempat makan. Akhirnya Tian memilih salah satu tempat makan yang menjual Mie kuah.
Tempat itu tidak menyediakan tempat untuk pengunjungnya. Sehingga yang membeli hanya bisa membungkus atau makan di dalam mobil masing-masing.
Laisha pun menunggu Bian yang tengah membeli sesuatu di mini market depan jalan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Karena ponselnya tidak dibawa dan dia tinggalkan di kamarnya.
Tidak lama. Si penjual pun datang membawa dua mangkuk mie pesanan mereka. Begitu juga Bian yang mengambil satu mangkok miliknya.
"Gak khawatir kalau kuah mienya tumpah?" tanya Laisha seraya mengaduk-aduk mie dan meniupnya sebelum mencoba kuahnya.
"Artinya kamu harus bertanggung jawab membersihkannya."
"Ya. Nanti bawa aja ke tempat pencuci mobil. Aku yang bakal bayar kok."
"Aku maunya kamu bayar pake waktu kamu, Sha," kata Bian seraya menyingkirkan sulur rambut bagian depan Laisha yang menghalangi wajah wanita itu.
"Aku sibuk."
Bian tahu jika kata-kata Laisha memiliki arti bahwa wanita itu tidak akan lagi meluangkan waktu untuknya. Namun Bian bukanlah orang yang mudah menyerah. Apalagi untuk urusan memperjuangkan cinta.
Walau Bian dikenal memiliki banyak mantan, tapi tidak sekalipun Bian merasakan ketertarikan pada mereka. Laisha adalah wanita pertama yang membuat hatinya terusik.Entah karena wanita ini selalu menolaknya tidak seperti wanita-wanita yang selama ini dia temui. Atau mungkin memang Bian benar-benar menginginkan Laisha?
![](https://img.wattpad.com/cover/231390495-288-k876987.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan sekali saja
Lãng mạnBagi Laisha, setiap waktu yang dilaluinya adalah berharga. Begitupula 8 tahun yang sudah dia habiskan untuk menjalin hubungan bersama Tian-kekasihnya. Saat segala mimpi dan harapan-harapan telah terajut begitu manis dan indahnya, kenyataannya segala...