Episode 03. Carsillion Kennedy (3)

371 37 0
                                    

Aku tersentak dan membeku karena kaget. Terdengar suara halus dan menggoda tepat disebelah kupingku. Aku langsung menengok ke arah suara tersebut sambil memegang kupingku karena geli.

Melihatku yang kaget dan bingung, ia tertawa terbahak-bahak seperti tidak memiliki dosa. Suaranya yang khas mengundang murid lain. Mereka hanya menonton sambil memperhatikan kami berdua.

Kesabaranku sudah habis, ia sudah tahu ini semua akan terjadi. Tetapi ia tetap melakukannya dan terus-menerus mempermainkanku. Aku menghiraukan tawarannya untuk membantuku dan berbalik membelakangi Carl.

Aku sudah tidak peduli dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang artis. Tekadku sudah bulat untuk menjauhinya. Aku berharap dengan setulus hati supaya tidak bertemu dengannya lagi.

"Huh, ada apa ini?"

Seorang siswi melipat tangannya didepan dada sambil menengok keatas. Sebenarnya ia melihat ke arahku, tetapi karena perbedaan tinggi kami yang lumayan jauh, ia terpaksa mendongak sedikit keatas.

Siswi itu dengan melewatiku dan merangkul lengan Carl sambil tersenyum licik. Ia dengan bangga mengatakan bahwa Carl adalah miliknya.

Carl tidak berkata apapun. Mungkin ia sudah biasa dengan keadaan seperti ini. Ia mengikuti permainan siswi tersebut sambil menunggu respon dariku.

Aku hanya memutar kepalaku melihat permainan yang dimainkan Carl. Aku tidak merespon, dengan ekspresi datar aku memutar kembali kepalaku dan pergi keluar kelas.

Sejujurnya aku sedikit penasaran dan mulai mengintip dari jendela diam-diam. Siswi tersebut ternyata adalah fans Carl.

Hal itu wajar karena Carl merupakan artis. Dengan harta kekayaan miliknya, aku yakin dia bukanlah artis biasa melainkan artis tingkat atas. Tetapi menurutku tanpa ia menjadi artis pun, sudah pasti ia terkenal karena parasnya yang tampan.

Karena aku sudah pergi, tidak ada lagi alasan untuk Carl berpura-pura lagi dengan siswinya. Carl dengan polosnya meminta tolong kepada murid-murid lainnya yang sedang melihatnya dipaksa pergi bersama para fansnya.

Aku bersembunyi sebentar saat Carl dibawa pergi oleh fansnya ke luar kelas. Aku kembali ke kelas yang sudah kembali hening.

Tempat duduk milikku sangat cocok untuk dijadikan tempat tidur. Aku menaruh kepalaku di meja lalu memejamkan mataku. Tak lama, akupun tertidur lelap.

"Lis, Pak Dadang udah dateng."

Suara mengesalkan itu terdengar lagi di telingaku. Saat mendengar kata 'Pak Dadang' aku membuka mataku secepat kilat dan melihat ke sekeliling. murid-murid lain berbisik, melihatku sambil tertawa.

Aku belum tahu siapa itu Pak Dadang, tetapi insting milik Alice mengatakan bahwa ia merupakan guru yang patut diwaspadai. Aku segera meminta maaf kepada guru tersebut.

Untung saja ia memaafkanku. Tentu tidak secara gratis, aku menjawab 1 pertanyaan darinya terlebih dahulu. Jawabanku benar dan aku diperbolehkan duduk kembali.

Saat ia sudah mulai mengajar, aku memperhatikannya lebih jelas lagi, dan ternyata guru tersebut adalah guru killer di sekolah Alice, Pak Dadang.

Murid-murid yang tadi menertawaiku langsung terdiam saat Pak Dadang mulai menjelaskan materi, namun mata mereka masih menatapku lekat. Sepertinya ingatanku tentang guru ini tidak salah.

Tetapi jika benar Pak Dadang merupakan guru killer, mana mungkin murid-murid lain berani menertawakanku. Aku penasaran dengan alasan mereka, tidak mungkin bagiku untuk bertanya langsung sih.

Rasa penasaran menghilangkan perasaan kesal kepada Carl. Sebagai orang yang telah membangunkanku, aku bertanya kepadanya mengapa mereka menertawai diriku.

Carl mulai berpikir. Bukannya menjawab, ia terlihat seperti sedang bersusah payah untuk menahan tawanya. Belum menjawab pertanyaanku, suara tawanya sudah terdengar oleh Pak Dadang.

Sudah kuduga, untuk kesekian kalinya aku terkena masalah lagi karena hal bodoh yang ia lakukan. Pak Dadang dengan cepat melempar penghapus papan tulis melewati sela diantaraku dan Carl. Hampir mengenai wajah kami.

DUKK!!

Penghapus papan tulis tidak berdosa itu mengenai tembok kelas belakang. Mata kami yang mengarah kepada arah pengahpus dan segera kembali ke depan. Bukan hanya aku dan Carl, murid-murid lainnya di kelas juga menegakkan badan mereka.

Kami tahu, jika kami berbuat sedikit saja kesalahan, pasti akan terjadi sesuatu yang tentunya buruk. Seketika suasana kelas berubah menjadi hening.

Saat aku ingin membuka suara untuk meminta maaf, lagi-lagi Carl membuka suaranya terlebih dahulu. Alasan yang diberikannya kali ini sungguh tidak masuk akal.

Changing DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang