8|Rindu|

16 2 4
                                    

"Assalamualaikum..." Seorang polisi menghubungi Blackrider, memberitahu bahwa mereka sedang melacak keberadaan Edloss.

Namun sejauh yang pernah pihak polisi lakukan, keberadaannya sulit ditemukan. Blackrider mengempaskan diri ke atas ranjang, pikiran bagaimana kondisi Juliana? Terlintas di benaknya, bermenit-menit pikiran itu berputar di kepalanya, tiba-tiba Miniseluler-nya berdering. Segera bangkit duduk, meraih Miniseluler yang terletak di dekatnya, membukanya, mendapati sebuah panggilan dari Si Putih Mungil. Kernyitnya terbit sebelum akhirnya ia menjawab panggilan.

Blackrider dan Watn mengucapkan salam secara bersamaan, tergelak sejenak sebelum menjawab salam.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Watn, bersandar di dinding dekat jendela.

"Alhamdulillah atas segla keadaan," jawabnya, tertunduk menatap karpet hitam putih.

"Pasti..." Watn memikirkan apakah pertanyaan yang akan diutarakan itu tepat, "...karena Juliana, bukan?"

Terdengar desah napas kecewa di telinga gadis itu.

"Begitulah," Blackrider mendongak.

"Aku punya kabar tentang Juliana," Ia membalikkan tubuh dan menyandarkan punggungnya ke dinding. "Tim detektif bilang dia berada di tempat yang jauh."

Blackrider mengernyit sambil berpikir.

"Sepertinya ia bukan berada di Pulau Al-Kahf," lanjut Watn.

"Apa dia masih hidup? Dia baik-baik saja, kan?" desaknya.

Watn terdiam, ia juga tidak tahu tentang itu. "Aku tidak tahu, Blackrider" jawabnya.

Itu membuat Blackrider kembali sedih namun setidaknya itu sedikit membantu.

"Baiklah, terima kasih, maaf aku sudah membuatmu repot," Blackrider berusaha membuat dirinya tenang.

"Tak masalah," jawab Watn. "Aku senang bisa membantumu, nanti jika ada kabar baru, insya Allah akan segera kuberitahu."

Tepat setelah itu air mata Watn jatuh ke permukaan wajah, tanpa sadar ia merasa cemburu. Ia begitu karena Blackrider terasa amat mencemaskan Juliana saat mendesaknya dengan pertanyaan tentang kondisi gadis itu. Ia berbalik menghadap jendela, menyaksikan jalan raya depan rumahnya dengan buram. Terasa menganggu pandangan akhirnya ia menghapus air mata. Mengernyit, menyadari bahwa ia merasakan cemburu. Kenapa jadi begini? Batinnya, dasar bodoh! Di kampus tepatnya di Kelas Manipulasi Perasaan, Blackrider mencoba agar tetap tenang, meski sebenarnya cemas. Zombierange dan Green Mila menyarankan agar ia mengirimkan foto Juliana dan Edloss pada Watn, agar proses pencariannya menjadi lebih mudah. Meski ia tahu gadis dengan nama Juliana Indigo yang bertempat tinggal di Kota Merah muda hanya ada seorang, namun saran itu memang tepat.

"Terima kasih," katanya.

"jangan menyerah!" Zombierange merangkul leher Blackrider, teman-teman yang selama ini mendukungnya, begitu menguatkan.

Pemuda itu teringat bahwa ia pernah menyimpan sebuah surat yang dititipkan kepada Watn untuk Juliana dalam saku ransel, ia merindukan Juliana, segera membuka saku itu, merogohnya lalu menarik keluar sebuah amplop putih. Tertunduk memerhatikan nama pengirim dan penerima. Senyumnya merekah walau tidak lama, wajah sendunya kembali, mengingat kejadian-kejadian sebelum mereka berpisah.

Julie, kau temanku, kau rival turnamenku, aku merindukan kebersamaan yang pernah kita lakukan dulu.

Ia teringat saat pertama kali bertemu Juliana di tempat turnamen, ia merasakan pegangan tangan gadis itu terlalu kuat, sehingga mampu mengunci tubuhnya. Ungkapan maaf saat bertemu di kampus setelah memasuki Ruang Adaptasi, tangis kecewanya karena ternyata Juliana merasa takut dengan mata merah di depan layar dan merasa malu karena ia berbeda dari murid lain.

Wonder Colours: Fight in Color WorldWhere stories live. Discover now