17|Bunga Perpisahan|

15 2 2
                                    

Hidangan yang sepertinya mereka lupa akan apakah itu boleh mereka konsumsi? Keduanya tenggelam dalam pembicaraan panjang.

"Bukan," jawab Watn, menghela napas, menoleh menatap sekitar lalu tertunduk. Tampak jelas ia salah tingkah, namun sepertinya Juliana tak menyadari hal itu. "Tentu saja bukan," sambungnya. "Bahkan kupikir kau adalah keksasihnya," Ia kembali menatap Juliana.

Juliana tergelak, cukup membuat gadis pecinta warna putih itu bingung. "Aku?" tanyanya sambil mengedikkan kedua alis. "Bukan juga," lanjutnya. "Bahkan aku baru mengenalnya sejak beberapa bulan lalu."

Oh! Syukurlah!

Diam-diam Watn bersyukur dalam hati.

"Aku ingin kembali ke Dunia Warna jika orang tuaku mengirim uang untuk ongkos kembali," gumam Juliana.

Mendengar kata mengirim uang sungguh mengingatkan Watn akan janji Black Shawn untuk mengirim uang rawat. Bahkan ia terdiam beberapa saat, tapi Juliana tetap bicara padanya tanpa berpikir buruk.

"Kenapa dengan wajah..." Juliana menyorot telapak tangan Watn yang terbuka, "...dan tanganmu?"

Watn menoleh ke arah jendela, menatap wajahnya sekilas, bekas luka setelah dirinya menerobos kaca jendela itu membuat wajahnya buruk rupa, sedikit. Kemudian mengalihkan pandangan kepada Juliana, senyumnya terbit "Hanya masalah kecil," jawabnya, saat itu juga jawaban tidak masuk akal sukses membuat Juliana tak percaya.

Juliana mendesah terkesiap, wajahnya berkerut. "Bagaimana mungkin?" tanyanya meyakinkan. "Kurasa sepertinya-"

"Ya, ampun!" Watn memotong pembicaraan. "Sudah berapa lama kami berada di sini?" Ia bangkit dari duduk, membawa tas lengan dari tas meja. "Dan meninggalkan Blackrider."

Penolakan jawaban yang tepat! Gadis indigo itu seketika dibuatnya lupa akan pertanyaannya. Rasanya Watn sangat tidak ingin menceritakan tentang bagaimana dirinya berada dalam bahaya, cukup sudah ia tak ingin mengingatnya lagi. Mereka segera beranjak menuju kasir dan membayar makanannya, saat itu juga keduanya teringat akan apakah semua yang telah mereka telan itu halal? Oh, tidak! Mereka sangat menyesal, bahkan mereka tertunduk karena penyesalan ketika keluar dari pintu kafetaria.

"Dan, apa yang kau makan selama berada di sini?" tanya Juliana sembari menyusuri lantai.

"Hanya mi rebus," jawabnya.

"Dari kafetaria?" Kemudian mereka berbelok.

"Tidak juga," Entah kenapa fokusnya terpecah setelah Juliana menanyakan soal luka di wajahnya.

Gadis asal Palestina itu terus berpikir tentang kapan Black Shawn akan mengirim uang rawat, hal yang amat ia khawatirkan tentunya jika Blackrider berhasil dikeluarkan dari rumah sakit. Pikiran lain daripada itu ialah tentang berita Blackrider yang terus beredar di stasiun televisi, sepertinya yang satu ini lebih berbahaya dari pikiran pertama, bagaimana jika si pembunuh tahu bahwa nyatanya Blackrider belum meninggal, dan sedang koma di rumah sakit. Akankah mereka datang ke rumah sakit dan menghabisi nyawa pemuda itu? Meski banyak hal tak menyenangkan bagi keduanya, akan tetapi karena itu juga perlahan mereka kian akrab dalam waktu singkat.

Hari itu berlalu, uang ongkos Juliana dari keluarganya di Lebanon akhirnya sampai, namun ketika gadis itu berada di tempat pengambilan uang, satu masalah terjadi.

Pandangan gadis itu seketika beralih kepada seseorang yang kini melarikan diri setelah menarik tasnya. "Hei!" teriak Juliana. "Kembalikan tasku," Ia berlari mengejar begal itu.

Wonder Colours: Fight in Color WorldWhere stories live. Discover now