11|Ke Mana Aku Harus Pergi?|

15 2 0
                                    

Juliana sebisa mungkin mengubah dirinya untuk menjadi seorang yang tak dikenal oleh orang-orang yang pernah melihatnya. Mengenakan masker, mengemas pakaiannya dalam ransel indigo kesayangannya, keluar dari rumah besar itu tanpa sepengetahuan Edloss Gray, tentu saja, rasa takut masih menyelimutinya, hingga akhirnya ia berada di tepi jalan, mendapati sebagian besar orang bermata sipit dan berkulit putih. Ia tampak panik ketika teringat bahwa kini ia berada di Jepang, merasa bingung akan apa yang harus ia lakukan. Ransel yang dibopongnya membuatnya merasa lelah.

Gadis itu menoleh pada seorang ibu tua yang berdiri di sebelahnya, keraguan untuk bertanya muncul. "Permisi," Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. Ibu tua itu menoleh ke arahnya. "Apakah jarak bandara jauh dari sini?" Juliana mencoba menggunakan bahasa Inggis.

"Letak bandara memang jauh dari sini, Nak," jawabnya.

Tidak punya uang adalah sebuah alasan kuat baginya untuk tidak bisa pergi ke bandara, jadi, selama ia bekerja di rumah Edloss tak sepeserpun ia menerima upah. Rupanya pemuda itu juga pandai, ia berpikir jika ia memberinya upah, maka gadis itu akan mengumpulkannya untuk dirinya dapat pergi melarikan diri dari penculikannya. Namun, Juliana tak kalah pandai, buktinya tanpa uang ia juga bisa melarikan diri meski kini situasinya membingungkan. Ketika lampu hijau bagi pejalan kaki berpendar, ibu itu menyeberang jalan, dan Juliana memerhatikannya. Mengalihkan pandangan ke arah jalan, mendapati seorang pemuda mengendarai sebuah motor dengan kecepatan tinggi, kernyitnya terbit, kembali menoleh ke arah ibu tadi, lalu menatap secara bergantian antara pengendara motor itu dan sang ibu. Entah mengapa ia memiliki firasat bahwa si pengendara motor itu mungkin akan menabrak ibu tua. Sebelum melangkah lebih jauh Juliana menghampiri ibu tua, mendekap lengannya dan menariknya mundur. Benar saja, tepat setelah itu motor tadi melintas di hadapan mereka.

"Hei!" teriak Juliana, menegur pemuda itu dengan wajah kesal, namun seperti yang ia lihat, itu tak menghasilkan apa pun, si pemuda itu tetap membawa motornya dengan kecepatan sama seperti yang pernah dilihatnya. 

Merasa diselamatkan ibu tua tersebut mengajak Juliana pergi ke rumahnya, menyeberang jalan bersama, tiba di seberang jalan gadis itu membantu sang ibu membawa kertas belanjaan hingga mereka masuk ke dalam taksi. Dan setibanya di rumah mereka memasukinya, Juliana bisa langsung melihat dapur karena mereka masuk melalui pintu belakang rumah. Ia mendapati ibu tua yang nyaris terjatuh jika Juliana tak sempat untuk menahannya, sang ibu tampak lelah, jadi fokusnya sedikit terpecah, sembari memasak yang sedikitnya Juliana turut membantu, sang ibu bercerita tentang bagaimana dirinya bisa menghidupkan tiga putranya seorang diri tanpa seorang suami. Suaminya telah lama meninggal, sementara ketiga putranya memiliki masing-masing kesibukan. Sakamoto, adalah putra tertua yang kini bekerja menjadi seorang model, kemudian Arata, sebagai putra kedua kini menjalankan masa kuliahnya pada semester dua, setelah itu Yamazaki sebagai putra bungsu hampir berada di akhir tahun sekolah menengah atasnya.

"Jadi," lanjut sang ibu. "Saya hanya bekerja seorang diri di rumah," Terdengar gelak kecil di telinga Juliana.

Juliana berkata 'oh' sambil mengangguk.

"Anda tidak pulang, Nak?" tanyanya sambil menyuci beras, menyadari bahwa hari menjelang malam

Mendengar pertanyaan itu Juliana berubah dari seorang yang ceria menjadi seorang yang sedih, ia terdiam, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Tak mendengar jawaban apa pun dari Juliana sebenarnya membuat sang ibu menjadi khawatir, ia menoleh ke arah Juliana, bertanya tentang kondisinya. Akhirnya air mata turun membasahi wajahnya sebelum ia menceritakan kejadian yang sesungguhnya, sang ibu menghentikan pekerjaannya, memeluk lengan Juliana dan segera membawanya ke sofa yang terletak di hadapan dapur. Memersilakan gadis itu untuk duduk, setelah itu ia kembali ke dapur, meraih sebuah gelas dari kumpulannya, membawanya ke bawah kran, membukanya, sekejap kemudian air dari dalam kran mengalir keluar mengisi gelas itu. Setelah penuh ibu kembali menutup kran. Membawa gelas berisi air menghampiri Juliana, lalu meletakkannya di atas meja.

Air kran di Jepang telah mengalami pensteril, jadi dapat langsung kau nikmati. Sementara Juliana masih terisak, mengingat bagaimana dirinya selalu merasa takut, sejak hari diculiknya dari tempat turnamen.

"Dari mana anda berasal?" tanya sang ibu.

"Saya..." Ia terisak, "...berasal dari Lebanon."

"Semoga Tuhan melindungimu," imbuh sang ibu. "Jangan khawatir anda dapat tinggal di rumah ini, selama yang anda inginkan," Merasa kasihan dan beruntung karena dapat menemukan gadis itu. Setelah merasa aman berada di dalam kamar yang telah disediakan, ia menangis karena sangat merindukan kampus, teman-teman dan keluarga di Lebanon. Miniseluler-nya ditahan oleh Edloss agar gadis itu tak dapat menghubungi siapa pun.

Bersamaan dengan itu Watn menjadi sasaran, ketika tempat itu mulai sepi karena banyak orang keluar dari sana, gadis itu bersama keluarga kecilnya berlari menuju pesawat melewati banyaknya tempat pemeriksaan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bersamaan dengan itu Watn menjadi sasaran, ketika tempat itu mulai sepi karena banyak orang keluar dari sana, gadis itu bersama keluarga kecilnya berlari menuju pesawat melewati banyaknya tempat pemeriksaan. Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti, Watn menemukan bawah tangga, berpikir sepertinya aman untuk tempat sembunyi. Kemudian mereka bersembunyi di sana. Para penjahat itu merasa kehilangan jejak Watn, jadi meeka tetap mencarinya dengan cara berpencar. Entah sampai kapan mereka harus berjongkok dan bersembunyi di sana, tak sedikitpun mereka merasa tenang, berharap banyak bahwa para penjahat itu akan segera pergi. Mendadak lampu di bandara mati, itu semakin membuat mereka sulit untuk ke mana mereka haru pergi. Setelah yakin bahwa para penjahat itu berada jauh dari mereka, Watn melarikan diri lebih dulu melalui jalan yang mungkin ia takkan bertemu dengan para penjahat itu, dengan sebuah perjanjian bahwa ia dan kedua orang tuanya akan bertemu di pintu keluar sebelum akhirnya mereka berpencar.

Namun tak disangaka ketika akhirnya justru jalan yang ia lewati adalah jembatan menuju pertemuannya dengan salah satu dari penjahat itu. Merasa terjebak karena tidak mungkin ia kembali ke tempat sembunyi, ia tahu di sebelahnya terdapat satu cara untuknya mengecoh musuh; eskalator dua arah yang mati dapat menjadi tempat melarikan diri. Jadi, ia berlari menanjaki eskalator, dan setibanya di puncak tangga gadis itu mendapati tempat di hadapannya gelap. Akan tetapi ia terus berlari, tak peduli seberapa hebat penjahat itu menembakkan peluru tajam ke arahnya, berbalik, mendapati sebuah peluru tajam berputar menuju dirinya, kedua bola mata birunya membulat sebelum akhirnya mencondongkan tubuh ke samping, yang membuatnya nyaris terjatuh.

Betapa beruntungnya ia ketika menyadari dirinya hampir celaka, kemudian segera berjongkok untuk menghindari hal lebih fatal. Ketika itu peluru melesat entah ke mana. Sementara pesawat tetap akan melakukan penerbangan sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Kedua orang tua Watn sudah tiba di pintu keluar, mereka mendapati sebuah pesawat dari kejauhan. Namun, bagaimana dengan perjanjian pertemuan yang telah disepakati sebelumnya? Bahkan Watn belum muncul dari pintu keluar. Si penjahat itu menodongkan pistol dari jarak jauh, perlahan mendekati Watn, Gadis itu menggeser tubuhnya mundur sambil berpikir apa yang harus kulakukan? Sialnya dua penjahat lain melihat mereka dari bawah, lalu segera menaiki eskalator untuk menghampiri mereka.

Ketika jarak antara penjahat itu dan dan Watn menjadi cukup dekat, tanpa berpikir panjang ia meraih sebelah kaki pria tersebut, sebisa mungkin membuatnya terjatuh, kemudian berlari kembali menuju eskalator. Amat disayangkan ia dihadang oleh dua penjahat lain, merasa panik, berbalik dan terkejut ketika mendapati penjahat pertama berdiri di hadapannya. Berpikir dengan napas naik turun, akhirnya ia menghampiri penjahat itu, meraih tangannya, membawanya ke hadapan dan mendorongnya pada dua penjahat di hadapannya, hingga jatuh dan berguling di ekalator. Membutuhkan waktu lama hingga ia berhasil berada di pintu keluar menemui kedua orang tuanya.

"Ya, Allah, Nak," Ummi langsung mendekap Watan ketika gadis itu tiba di hadapannya. "Ummi sangat mencemaskanmu," Wajahnya penuh akan air mata.

Gadis itu membalas peluk dengan tangis pecah.

Setelah itu mereka berlari menuju pesawat yang perlahan pintunya menutup.(*)

Wonder Colours: Fight in Color WorldWhere stories live. Discover now