19|Bunga Matahari|

12 2 0
                                    

Watn mendorong terbuka pintu kamar nomor 92, ia dikejutkan oleh pemandangan ranjang rawat yang telah kosong setelah kiembali dari pekerjaannya sebagai musik langsung di sebuah kafe. Dengan panik ia memasuki ruangan membiarkan pintunya dalam kondisi terbuka, memanggil Blackrider selama beberapa kali, namun sayangnya tak terdengar sahutan. Berlari menghampiri jendela dan menariknya terbuka, menundukkan kepala sambil mendorong tubuhnya sedikit keluar, untuk memastikan apakah Blackrider berada di jalan di luar rumah sakit?

Oh, ternyata tidak, jadi ia segera keluar ruangan sambil menutup mulutnya dengan satu tangan, hanya beberapa saat, tanpa menutup pintu dan jendela, membiarkan tirainya melambai tertiup angin. Ia menemui perawat dan memberitahu kondisi Blackrider yang cukup menkhawatirkan. Beberapa perawat yang berada di sana tampak tidak percaya dan saling bertatapan pada satu sama lain. Namun betapa mengejutkannya ketika ia kembali ke dalam ruangan bersama perawat itu. Mereka mendapati Blackrider menutu pintup toilet memunggungi mereka, Watn berlari hampir mendekati Blackrider, yang kemudian perawat itu mulai mengikutinya.

"Oh, Alhamdulillah," ucapnya. "Kupikir kau pergi ke mana."

Semasih pemuda itu memegang gagang pintu, menoleh (memastikan siapa yang berbicara di belakangnya) sebelum akhirnya ia membalikkan tubuh. "Watn," ucapnya. Sementara perawat itu membantunya kembali ke ranjang. Kembali menginfusnya sebelum Watn dan Blackrider tenggelam dalam percakapan panjang.

"Bagaimana kondisimu?" tanya gadis itu yang duduk di sebelahnya, sejenak menatap wajah merah muda pucatnya.

Blackrider duduk di atas ranjangnya, tersenyum menatap Watn. "Alhamdulillah, aku agak baikan," jawabnya. "Jadi, bagaimana aku bisa berada di sini?"

Watn mengernyit, berpikir apakah ia benar-benar lupa akan kejadiannya? Kemudian membuka mulut, siap untuk menjawab "Jadi, waktu itu kita sedang menyeberangi jalan," Ia mencoba menatap wajah Blackrider. "Lalu, sebuah mobil melaju yang sepertinya," Ia mengalihkan pandangan ke depan, mengerling, lalu kembali menatap Blackrider. "Akan menabrakku namun ketika aku mencoba untuk menghindar, mobil itu justru menabrakmu," sambungnya dengan wajah merasa bersalah.

Blackrider menjulurkan bibir tampak sedih, ia berpikir sejenak lalu menatap Watn. "Astagfirullah," desahnya. "Sebenarnya, siapakah yang mempu melakukan itu padamu?"

Watn menghela napas, mengerling. "Entahlah!" jawabnya.

Blackrider menoleh ke arah meja, memerhatikan sesuatu. "Itu, bunga milik siapa?" tanyanya sembari mengacungkan satu jari dan menunjuk bunga itu.

Watn yang baru teringat akan bunga itu segera mendongak, menoleh ke belakang, menyaksikan bunga itu tergeletak. "Aku lupa memberitahumu," jawabnya, kemudian bangkit dan beranjak menuju meja itu.

Meraih sebuket bunga matahari, berbalik, berjalan menuju kursi dan duduk. Dengan malu ia memberikan bunga itu kepada Blackrider. "Bunga itu milikmu," jawabnya, membuat Blackrider menyipitkan mata. "Pemberian dari Juliana sebelum ia kembali ke Lebanon."

Dan kini pemuda itu terbelalak, terkejut bukan main, mendesah terkesiap. "Siapa kau bilang?" tanyanya sambil mengerutkan wajah.

Watn mengedikkan kedua alis, sedikit membuka mulut, menyaksikan Blackrider seperti itu bahkan membuatnya bingung, akan apa yang harus ia katakan. Jadi, ia menceritakannya pada Blackrider.

"Jadi..." kata Blackrider dengan wajah sedih, sambil tertunduk menatap buket bunga dalam pangkuannya, "...kau sudah bertemu dengannya?" Ia mendongak, kembali mendapati Watn.

Gadis itu mengangguk.

"Ia sungguh pergi ke Lebanon?" tanyanya lagi.

Blackrider menjadi penasaran dengan bagaimana kondisi Juliana saat ini, jadi, ia meminta Miniseluler-nya pada Watn. Berharap banyak jika saat ia menerimanya ia dapat segera menghubunginya, namun ternyata harapan tak sesuai dengan kenyataan. Watn mengatakan bahwa Miniseluler-nya habis baterai. Jadi, ia hanya menyandarkan kepala ke ranjang dan menghela napas.

"Juliana!" Teman-teman di kampusnya yang menganggapnya asing dan aneh pada sebelumnya, kini mereka bersama-sama menghampirinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Juliana!" Teman-teman di kampusnya yang menganggapnya asing dan aneh pada sebelumnya, kini mereka bersama-sama menghampirinya. Bahkan beberapa di anatara mereka memeluknya.

"Ya, Allah," Mellyglow, siswi kelas Manipulasi Warna yang menyukai warna kastanye, melepas peluk, menatap gadis itu penuh rasa syukur. Sedangkan Juliana hanya menatapnya juga para murid lain yang mengitarinya dengan pandangan bingung. "Kukira kau takkan pernah kembali lagi."

"Ya, Juliana," sahut salah satu murid kelas fesyen. "Kami amat mencemaskanmu selama ini."

Hal itu entah mengapa membuat gadis indigo itu tak berdaya, tak mampu berkata apa pun, namun untungnya mereka memahami kondisi Juliana, jadi, sebagian dari mereka bersedia untuk mengantarnya menuju Kelas Manipulasi Warna. Tentu saja, Juliana merasa bersyukur karena akhirnya teman-teman satu kampusnya menganggapnya sebagai teman, meski tidak semua murid. Setibanya di ambang pintu kelas, teman-teman barunya berpamitan untuk mereka kembali pada masing-masing kelas. Green Mila adalah orang pertama dari kelasnya yang menyambut gadis itu dengan peluk hangat, bahkan ia menangis (penuh rasa syukur), sambutan itu akhirnya ditertuskan oleh teman-teman sekelasnya.

Meski seolah semuanya tampak baik-baik saja, namun, sebenarnya terdapat satu hal yang belum diketahui oleh semua orang di kampus tersebut; kondisi Blackrider. Tentu saja ia amat berharap bahwa pemuda itu akan segera sadarkan diri, dan kembali lagi pada hari-hari di kampusnya, maka Juliana melaporkan kondisi Blackrider kepada dosen kelasnya sebelum memberitahukan Green Mila dan Zombierange secara khusus. Tentu saja setelah semua guru bahkan kepala sekolah mengetahui hal itu, mereka memaklumi.

"Aku merasa bersyukur karena kau telah kembali," kata Green Mila ketika mereka tengah berbincang di kafetaria. "Namun..." Ia menudukkan kepala, "...aku juga berduka atas kondisi Blackrider."

Kala ini juga Miniseluler milik Juliana berdering, ia segera membukanya, menyaksikan panggilan masuk dari Blackrider, matanya terbelalak, mulutnya ternganga.

"Siapa yang menelepon?" Zombierange mengedikkan kedua alis.

Juliana menoleh ke arahnya. "Blackrider," jawabnya.

Akhirnya mereka segera berpindah sofa, duduk di antara Juliana untuk menyambut panggilan tersebut, yah! Mereka bisa langsung melihat bagaimana saat ini Blackrider duduk di atas ranjang, masih menggunakan pakaian rawat, dan sebuah gips membalut lehernya. Green Mila yang baru pertama kali melihat hal itu segera menutup mulut, tak menyangkan bahwa ternyata Blackrider mengalami hal yang lebih parah dari apa yang ia dengar. Sementara Zombierange mengernyit. Tentu saja mereka membicarakan tentang kabar mereka masing-masing, tak mau kalah, Watn juga turut hadir dalam panggilan video itu. Membuat Juliana terkejut, ia baru mengetahui jika kedua temannya telah mengenal Watn lebih dulu.

Pada kesempatan berikutnya, Blackrider tengah menyaksikan televisi, ia sungguh terkejut saat mendapati berita tentang dirinya di layar. Alih-alih ia bertanya kepada Watn apakah ia mengetahui tentang hal ini, dan Watn mengatakan apa yang seharusnya ia katakan. Sebenarnya ia lebih merasa cemas tentang bagaimana jika sesuatu akan terjadi pada dirinya setelah itu. Namun perlahan rasa takutnya berubah menjadi rasa syukur setelah menyakiskan bahwa, beberapa tersangka atas percobaan pembunuhan itu berhasil ditangkap. Wajah mereka ditutupi oleh topeng, jadi, mereka tak dapat langsung mengetahui bagaimana rupa mereka.

Tiba-tiba Miniseluler Watn berdering, gadis itu segera berbalik, melihat benda itu tergeletak di atas meja, bangkit dan mengampirinya, meraih benda itu, membuka layar Miniseluler dan menyaksikan siapakah orang yang tengah meneleponnya.(*)

Wonder Colours: Fight in Color WorldWhere stories live. Discover now