6. Hanya Umpan

4 1 0
                                    


Mirshal melenggang meninggalkan Raihan dan Renata dengan informasi yang masih mengambang.

"Tuh, anak bener-bener deh," Renata berkacak pinggang. Raihan menoleh ke arah lain, pandangannya menyusuri ke sudut atas ruangan itu. Terdapat dua buah speaker yang terlihat masih aktif.

"Akhirilah kebencian dalam dirimu ... "

"Akhirilah kebencian dalam dirimu ... "

Suara dari orang di seberang menyerukan kalimat yang berulang dengan intonasi sedikit lambat, suara yang sedikit berat nampak mendekati rintihan.

Raihan yang fokusnya masih kepada speaker yang diamati kemudian menyapu pandangan ke arah Renata "Siapa yang mainin speaker? Ren kau bilang—Ren?" Raihan melihat orang yang membersamainya mematung, berdiri dengan tangan menggenggam kuat, bahunya kian naik seirama dengan gerak tangannya. Orang itu memunggunggi Raihan. "Ren?" Raihan mendekat, kakinya menapak tanpa suara. Jantungnya berdesir seakan sesuatu yang tak beres sedang terjadi. Dari tubuh Renata menyeruak asap hitam yang saling bertaut.

Kini jarak Raihan dengannya tak lebih dari selangkah panjang,"Ren?"

Slashh ...

Gerakan itu cepat, singkat, Raihan tak mampu menghindar saat sepersekian detik ia tertegun dengan pisau lipat yang bagian mata pisaunya dibentangkan lurus menghadap arah Raihan. Raihan terlambat menghindar dan sebuah sayatan berkelir di lengan dan telapak tangannya, darah memancar dari pembuluh tangan Raihan.

"Arghhh ...." Raihan masih terkejut, sementara suara dari speaker itu tak hentinya menyerukan kalimat yang sama.

"REN, RENNN!" seruan Raihan tak mampu mematahkan jeratan hipnotis itu, dan Renata kini berjalan melenggang ke arah pintu, mengunci ruangan dan melempar sembarang kunci yang dia pegang. Mata Raihan yang mengikuti gerak langkah Renata terpana. Sial, kok bisa? Raihan mendesis, matanya melirik kiri dan kanan, sementara tangannya yang masih mengalirkan darah segar secepat mungkin ia balut dengan kemeja biru muda yang kini berpendar berwarna keunguan.

Renata mendekati Raihan dengan kepalanya yang menunduk kian mendongak, mengambil langkah seribu, memburu. Ketika jarak antar keduanya hanya sebatas lingkaran khayal yang mereka buat, dari balik ruangan Mirshal berteriak meminta mereka membuka pintu, Raihan tersentak, menoleh ke arah Mirshal. Menggelengkan kepala, memberi kode.

Mirshal kembali meninggalkan mereka berdua. Ketika pandangan Raihan lengah, Renata maju dengan mengarahkan mata pisau lipatnya ke arah Raihan dan siap menghunusnya. "Gerakan yang cepat, tapi Ren— cepat saja tak cukup—kau harus cerdik!" Raihan membanting samsak, samsak jatuh ke lantai dan bergoyang, tak sempat berguling. Di saat itu juga kaki Renata tergelincir permukaan samsak membuatnya limbung dan tersuruk ke lantai. Lutut Renata membentur muka lantai dengan keras.

Raihan meringis, "Uhh." Renata yang tersadar dengan suara Raihan yang bergema di gendang telinganya, mengundurkan lengannya ke belakang, sikunya menekuk membentuk sudut tertentu, dengan mantap membidik satu titik yang menjadi target di manik matanya yang nyalang.

./—././.—./ ——./..

Set... Jleb!

Pisau itu tepat menancap di belahan telapak tangan Raihan, tangan Raihan kini melekat pada sudut atas kayu penyangga gong di belakangnya."Aahh ... Ren, gue bukan papan dart," erangnya.

Mirshal kembali, suara kail kunci bergema diiringi handle yang kian turun naik. Daun pintu itu menderit pelan. Menganga. seseorang menyembul dari baliknya. Sepersekian detik Mirshal termenung, suaranya tercekat melihat pemandangan yang tak biasa. Manik matanya menangkap gambaran Raihan tengah berlumuran darah, tersengal, napasnya tak beraturan.

E.N.E.R.G.Y [Action-Mystery]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang