Perubahan 2

158 6 0
                                    

Selamat pagi!
Jangan lupa vote & komen karena itu gratis!

Selamat membaca :)

Semua orang menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku berjalan dengan sombong mengarah ke kelasku, tidak mempedulikan bisikan-bisikan para murid.

“Akhirnya plong juga perasaan gue,” kataku sambil merentangkan kedua tanganku.

“Apa-apaan ini!” ujar seseorang dari arah belakangku. Aku tersenyum saat mendengar suara itu.

“Iya?” tanyaku saat sudah membalikkan badan.

Cowok itu menatapku dari atas sampai bawah. “Ngapain lo berpakaian gitu ke sekolah?” tanya Shinki dengan tatapan marah.

“Terserah gue. Siapa lo berani ngatur-ngatur gue?”

Karena merasa marah kemarin aku pergi ke salon dengan Bagas dan mengombre rambut dengan warna cerah. Aku juga memperketat seragam sekolahku dan juga sepatu berwarna, benar-benar mencerminkan kepribadianku yang lama. Tapi, satu kata Perfect.

“Ikut gue ke ruang osis!” titah Shinki dengan menarik tanganku, namun dengan sangat kasar aku menepis tangan cowok itu.

“Eits ngapain lo pegang-pegang? Nggak jijik sama cewek jalang kaya gue?” tanyaku dengan senyum yang sudah tersungging di bibir. Shinki melepaskan tanganku.

“Ikut gue!”

“Maaf. Tapi, gue ada urusan.” Aku berbalik dan berjalan menuju kelas, tidak mempedulikan Shinki yang sudah kesal dengan sikapku ini.

Ini yang gue mau!

Seperti kemarin suasana di kelas mendadak hening, tidak heran lagi aku membanting tasku di atas meja. Dilla melotot ke arahku.

“Ara, ini beneran lo?”

Senyumku mengembang sempurna. “Cantik, kan?”

“Iya cantik banget, Ra!” Kagum Dilla yang terus menatapku.

“Tapi lo nggak takut sekolah pake seragam gitu terus rambut lo?”

“Tenang ini Ara bukan Fanya, jadi lo nggak usah khawatir.”

“Wiets, mak lampir dateng nih!” seruku agar semua orang mendengar, seorang cewek dengan dua dayangnya datang ke kelasku dan memukul meja. 

“Widih udah berani ya lo?” tanya Fanya melotot ke arahku.

“Kita kenal?”

“Nggak udah sok sombong deh lo. Akhirnya keliatan juga aslinya,” sindir Fanya dengan tatapan menilaiku dari atas sampai bawah.

“Uwu, lucu deh ya, nggak punya kaca ya, Mbak?”

“Berani ya lo!” Fanya menggebrak meja menyebabkan suara yang sangat nyaring. Dengan senyuman bak ibli, aku melakukan hal yang lebih dari yang dilakukan Fanya.

BRAK!

Meja yang tadinya berdiri dengan benar kali ini sudah terjatuh dengan mengenaskan akibat ulahku yang menendang meja itu dengan kasar. “Berani lo sama gue? Lo belum tau siapa gue. Jangan belagu lo dasar secuil upil!” kataku meniru kata Fanya kemarin.

Aku duduk di atas meja dengan kaki yang aku silang. “Ini gue, kenapa? Nggak terima lo?” Sikapku kali ini benar-benar sangat kelewatan. Keadaan kelas sepi.

Shinki datang dengan tatapan yang sulit diartikan. Cowok itu menarik tanganku, memaksaku untuk mengikutinya.

“Lepas!” bentakku, namun Shinki tidak mempedulikannya.

“Auu!” Aku merasakan sakit di punggungku saat Shinki mendorong tubuhku ke tembok yang ada di belakang sekolah.

“Lo itu kenapa sih?” gumam Shinki membuatku mengernyit.

“Kenapa?”

“Kenapa lo kayak gini, ini bukan Ara yang gue kenal.”

Aku tertawa hambar. “Gue mencoba membuktikan perkataan lo, sekarang lo senengkan udah ngeliat kebusukan gue?” ucapku.

“Stop!”

“Kenapa Ki? Ini gue yang asli ini, lo sekarang sudah puaskan karena dugaan lo itu benar?”

Aku melenggang pergi karena air mataku sedari tadi ingin menerobos keluar dari pembatas yang sudah aku buat.

“Tunggu?” Shinki menarik tanganku, aku mendongakkan kepala ke atas agar air mataku tidak keluar semakin banyak.

“Apa?”

“Maaf,” bisik Shinki membuat dadaku berpacu lebih cepat, aku mencoba menahan tangis.

Aku memaksakan senyum lalu menatap cowok itu. “Udah gue maafin kok, jadi lo jangan merasa bersalah gitu.” Setelah itu aku melepaskan tangan Shinki lalu berlari dari sana.

“Kenapa lo kayak gini sih, Ki?”

“Nggak boleh Ra, pertahanan lo yang udah lo bangun setengah mati nggak boleh roboh begitu mudah, lo harus buktiin kalau lo itu bukan cewek lemah.”

Aku berjalan kembali ke kelas, mungkin Dilla bakalan bertanya banyak kepadaku. Sudah menjadi kebiasaan cewek itu.

***

Drrt drrt drrt!

Ponselku berbunyi sedari tadi, aku menggeram kesal siapa sih yang mengirimkan pesan sebanyak ini, tidak tahu apa jika sedang ada pelajaran.

“Ish!” Aku mendesis pelan.

“Kenapa, Ra?” tanya Dilla mengetahui gelagat tubuhku..

“Gak ada apa-apa Dill.”

“Ohhh,” jawab Dilla kemudian diam.

Aku mengambil ponselku di dalam saku rok, lalu mengeceknya belum ada beberapa detik guru yang mengajar sudah mengetahuinya.

“Ara berdiri!” titah Buk Ajeng guru sejarah.

“Kenapa, Buk?” tanyaku polos.

“Siniin ponsel kamu.”

“Buat apa buk?” tanyaku lagi.

“Kamu berani-beraninya main ponsel saat pelajaran saya, jadi saja bakalan ambil ponsel kamu,” ucap Buk Ajeng ngegas.

“Buk, dari tadi ponsel saya getar makanya saya liat, siapa tau penting Buk,” jawabku jujur, namun perkataanku tidak dapat meyakinkan Buk Ajeng.

“Alasan saja kamu, cepat siniin ponsel kamu.” 

“Jangan lah buk.”

“Cepat.”

Aku berjalan perlahan menuju ke depan kelas dengan ponsel yang sudah aku matikan di tanganku.

“Nih buk.” Aku menyerahkan ponsel itu kepada Buk Ajeng. Dengan senang hati Buk Ajeng mengambil ponsel dari tanganku, saat hendak berbalik Buk Ajeng memanggilku. “Shara?”

“Iya, Buk?”

“Apa-apaan ini, kenapa pakaianmu begitu? Rambut sama sepatu juga, itu sudah melanggar peraturan di sekolah ini.”

“Bagus buk,makanya saya pakai,” ucapku membuat Buk Ajeng naik pitam.

“Tidak ada osis yang memperingatimu?”

“Nggak ada Buk,” jawabku bohong. Buk Ajeng berdecak. “Karena ini pertama kalinya, saya maafkan, jika besok saya lihat lagi saya tidak akan memberi kamu ampun. Paham?”

“Iya.”

“Yaudah kamu boleh duduk.”

Aku berjalan ke arah mejaku dengan santai tapi yang menjadi masalah ponselku ada di Buk Ajeng dan tadi aku sempat melihat jika Rio tengah menghubungiku.

“Sudahlah,” gumamku pasrah. 

***

Terima kasih sudah membaca :)

Next?

SHARA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang