05. I'm Promise!

422 62 0
                                    

Jungkook POV

.

.

.

Dengan sigap aku menahan tubuh Lisa yang hampir terjatuh. Wajah kami terlampau dekat.

Lisa menatapku sayu dan tak lama kemudian ia menutup matanya.

Aku menepuk kedua belah pipinya. Berharap ia merespon namun nihil,ia benar-benar pingsan.

Aku menatapnya khwatir,anak ini daya tahan tubuhnya sangat lemah.

Kemarin saat berkelahi denganku ia pingsan,hari ini pun sama. Seharusnya dia sadar bahasa sekuat atau sehebat apapun dia, bagaimanapun dia seorang gadis.

Aku menatap sekelilingku,ini benar-benar sepi. Tak ada satu pun orang yang terlihat selain kami.
Aku bingung harus membawanya kemana. UKS sekolah sudah tutup,aku tidak tahu dimana rumahnya,tidak mungkin kan aku membawanya ke rumahku? Itu sama saja dengan bunuh diri.

Dengan terpaksa aku mengendongnya menuju kelas. Sesampainya di kelas ku baringkan tubuhnya diatas meja. Ku gunakan tasnya sebagai bantal lalu aku sendiri duduk disampingnya.

Lima belas menit telah berlalu. Aku menguap bosan,baterai handphoneku mulai terlihat lemah. Handphone? Ah kenapa sedari tadi aku tidak berpikir.

Aku mengambil tas Lisa dengan hati-hati lalu membongkarnya,mencari benda persegi empat itu.

Tidak butuh waktu yang lama untuk menemukannya. Setelah mendapatkannya aku langsung mencari kontak Ayahnya dan mengirim pesan singkat padanya tentang keadaan putrinya. Setelah memastikan pesanku terkirim,aku pun mengambil tasku lalu beranjak pulang.

Meninggalkan Lisa sendiri.

Bagaimana pun ia musuhku,apa kata Ayahnya jika melihat aku bersama putrinya? Pasti ia akan berpikir bahwa aku yang melukai Lisa. Jadi lebih baik aku mencari cara aman.

-----

Jarum jam telah menunjuk pukul 05:26 menit begitu aku tiba di rumah. Ku hempaskan tubuhku di atas ranjang,mengamati langit-langit kamarku yang bewarna coklat kemerahan.

Rumahku berbentuk seperti rumah klasik jepang yang terlihat kuno namun elegan. Meskipun dari luarnya tampak seperti itu dengan Pagar besi keliling namun jangan salah didalamnya berisi berbagai perabotan modern yang terlihat berkelas.

Ini baru rumahku kalian belum lihat bagaimana bentuknya Markas Yakuza keluarga kami.

Markas Yakuza keluarga kami berada di perbatasan kota Tokyo. Markas kami terlihat seperti rumah kerajaan jepang kuno,mempunyai 3 tingkat dan ruang bawah tanah.

Tingkat pertama terlihat normal seperti rumah pada umumnya yang mempunyai banyak kamar dan ruang tengah namun jangan salah sangka kamar-kamar itu merupakan tempat penyimpanan pedang yang di gunakan untuk perang.

Tingkat kedua berisi tentang obat-obatan terlarang yang di ekspor dan diimpor serta senjata-senjata rahasia yang ilegal.

Tingkat ketiga berisi rakitan bom yang dirakit untuk menghancurkan musuh dan tingkat ketiga juga merupakan tempat penumpukan uang.

Dan terakhir ruang bawah tanah yang merupakan Neraka.

Aku bilang begitu karena ruang bawah tanah merupakan sederet penjara yang menyiksa para tawanan dan orang-orang penghianat. Itu sangat kejam bukan? Tapi begitulah Yakuza.

Keluargaku tidak akan segan-segan membunuh orang yang dirasa tidak sependapat.

Disanalah aku sering dilatih memanah,menembak,dan bela diri. Karena tempatnya yang sepi dan jauh dari keramaian kota membuat kami bebas bergerak.

Keluargaku merupakan Yakuza ternama yang juga tergabung dengan mafia Eropa, kelas atas.

Pamanku merupakan seorang mafia di eropa sedangkan otousanku adalah seorang yakuza. Sebenarnya sama saja,tidak ada yang berbeda.

Terlahir dari keluarga seperti itu membuat kepribadianku sedikit dingin,tegas,acuh,dan kejam.

Tok

Tok

Ketukan di pintu kamarku membuatku tersadar.

"Silahkan masuk."

"Maaf Jeon-kun..  Tuan besar telah menunggu anda untuk jamuan makan malam bersama keluarga Hayabi,Yakuza dari wilayah Kobe. Mohon secepatnya anda bersiap."

"Hai!"
Balasku seraya bangkit dari ranjang,bersiap untuk jamuan makan malam.

Sepertinya malam ini Kami akan membahas tentang perang perebutan  perbatasan okinawa akhir bulan ini.

Ah aku tidak sabar menantikannya.

Aku ingin hari itu secepatnya datang,aku ingin menunjukan semua yang ku pelajari selama sepuluh tahun ini.

Dan itu akan menjadi kali pertamanya aku terjun di medan perang.

Aku tidak ingin mengecewakan nama besar klan keluargaku.

Aku akan berlatih dan mempersiapkan diriku dengan sungguh-sungguh.

Akan ku pastikan Klan Manoban kalah.

Aku janji.

***

Bunyi dentingan sendok dan piring mengiringi makan malam kami.

Tak ada satu pun yang berani buka suara.

Untuk seorang yakuza menjaga kesopanan dan ketertiban dalam makan itu penting.

Tujuh menit telah berlalu seusai kami makan.

Ayah, Aku,dan keluarga Hayabi pergi ke salah satu bilik kamar di rumahku.

Disana Kami duduk melingkar diatas sebuah tikar.

"Jadi bagaimana Tuan Jeon? Apakah kita akan menyerang menggunakan pedang atau kita harus menggunakan senjata dan beberapa bom rakit?"

Ayah mengelus dagu berjanggutnya,terlihat berpikir.

"Aku rasa kita harus menggunakan pedang saja,itu terlihat lebih elegan dan terhormat."

"Baiklah,kalau begitu ayo kita susun strateginya. Jangan menunda-nunda waktu lagi,perang sudah di depan mata."

Satu per satu bibir yang ada di ruangan ini menyeruakan pendapatnya.

Aku hanya diam mendengar setiap pendapat dari bibir mereka.

Hingga pada akhirnya bibir-bibir itu menyeruakan sebuah kesimpulan yang dapat ku pahami.

"Kita akan menyerang dari sebelah timur perbatasan okinawa. pasukan depan dipimpin oleh klanku,tengah oleh klanmu Hayabi,dan terakhir oleh klan Ayako, Yakuza dari daerah Kobe."

Semua yang ada disitu mengangguk mengerti termasuk aku. setelah pembicaraan itu dengan sopan aku pun pamit undur diri kembali kedalam kamarku.

kriet..

Deritan ranjang terdengar begitu aku merebahkan tubuhku. kutatap langit-langit kamarku dalam diam. jujur aku tak sabar menantikan perang itu. dengan perlahan kualihkan pandanganku pada sebuah pedang yang berada diatas nakasku.

Seringai tipis tercetak di kedua belah bibirku. Dengan pelan kubangkit dari ranjang ku menghampiri pedang itu.

slash...

Ku sibak tirai gorden kamarku  dalam satu ayunan.

"Mengesankan." pujiku.

Dengan lihai jari-jariku bergerak mengusap permukaan pedang tersebut. Aku semakin menyeringai dengan lebarnya begitu melihat pantulan diriku di atas permukaan pedang yang terlihat licin dan menusuk itu.

"Aku  tak sabar menanti hari esok." lirihku pelan.

***

***

***
Bersambung..

Chained To You! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang