arrearages

3K 366 45
                                    

"Bagaimana bisa?" Jiyeon terperangah hebat kala beberapa pria berbadan tegap dengan tidak tahu malu menerobos kediamannya, mengangkut semua barang dari dalam rumah sederhana milik gadis itu dan meletakkannya di teras.

"Tentu saja bisa, adikmu sudah menjual rumah ini padaku," balas pria yang berpenampilan rapi berdiri di hadapan Jiyeon. Tangan pria itu dengan santai memaparkan sertifikat rumah Jiyeon yang kini sudah beralih nama menjadi milik pria itu; Kim Seokjin.

"Beri aku waktu, aku akan membayar hutang adikku padamu," ucap Jiyeon mencoba bernegosiasi. Namun kekehan sinis meluncur dari bibir Seokjin.

"Sudahlah, kau mau melunasi dengan apa? Tubuhmu?"

Hati Jiyeon mencelos seketika, merasa tertampar dengan kenyataan. Meski Jiyeon mengambil lima pekerjaan dalam sehari pun belum tentu bisa melunasi hutang yang dibuat adiknya. Diperparah hutang yang ditinggalkan kedua orang tuanya yang harus Jiyeon bayar setiap bulan. Tapi gadis itu tidak bisa melepaskan rumah peninggalan orang tuanya.

"Aku kasihan sekali denganmu, kenapa kau tidak mencoba menjual diri saja? Daripada banting tulang dari pagi hingga malam dengan gaji yang tidak seberapa," jelas Seokjin.

Gadis itu menatap nanar pada dua tas berukuran besar teronggok di teras rumah. Tidak ada barang-barang bernilai tinggi yang mengisi rumah sederhananya. Jiyeon yakin sekali semua barang-barang itu akan berakhir di tempat sampah. Namun begitu banyak kenangan di rumah ini, Jiyeon tidak bisa melepaskannya begitu saja.

"Tolong jangan jual dulu rumah ini? Aku janji akan menemuimu untuk mengambil kembali rumah ini."

"Aku tidak bisa menjanjikannya, Cantik."

Jiyeon mendesah pasrah, menatap lama rumahnya yang kini dikunci rapat oleh anak buah Seokjin. Dan para pria itu kini melenggang pergi keluar dari pekarangan rumah dan memasuki mobil mewah milik Seokjin. Gadis itu merosot, berjongkok dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan lentik itu. Meredam isakannya sendiri. Rasanya begitu berat, kenapa Tuhan terlihat senang sekali mencandai hidupnya seperti ini. Apa yang bisa gadis 23 tahun lakukan untuk mengembalikan keadaan? Benarkah Jiyeon harus menjual diri?

Sekarang Jiyeon pun tidak bisa menghubungi kedua adik laki-lakinya, Yeonjun sudah dua tahun ini menjalani training disalah satu agency ternama Korea Selatan. Padahal Jiyeon sudah menentang pria itu, namun keinginannya menjadi idol begitu besar dibanding apapun. Tidak ada yang bisa Jiyeon lakukan pada pria 20 tahun tersebut. Sementara Beomgyu; adik bungsunya, sekaligus tersangka yang sudah menjual rumah orangtua mereka pada Seokjin baru saja menginjak 17 tahun. Seharusnya remaja nakal itu fokus pada sekolahnya saja. Benar-benar selalu bisa membuat Jiyeon jengkel dan angkat tangan dengan kelakuannya. Dan ini adalah yang paling gila! Setalah bocah nakal itu menjual televisi, kulkas hingga ponsel Jiyeon. Beomgyu sudah tidak pulang tiga hari ke rumah.

Tidak bisa ditampik jika Jiyeon mencemaskan kedua adiknya itu. Jiyeon pun tidak bisa menyalahkan Yeonjun dan Beomgyu dengan tingkah laku mereka. Ia rasa itu bentuk tindakan pemberontakan karena ditelantarkan orangtua. Awalnya Jiyeon pun sama, lima tahun lalu begitu berat karena kedua orangtua mereka lari begitu saja. Meninggalkan hutang dan tanggung jawab yang begitu besar untuk Jiyeon sebagai anak pertama.

Tidak ingin terlalu lama larut dalam kepahitan hidupnya, gadis itu berdiri setelah mengusap kasar lelehan air mata yang masih membekas pada pipi putihnya. Mengambil dua buah tas besar tersebut dan beranjak pergi dengan berat hati.






•/•






"Jadi ... bagaimana sekarang?" Hoseok menuangkan minuman pada gelas Jiyeon yang sudah kosong. Suasana bising club malam memang sangat mengganggunya, tapi rasa kacau di kepala lebih berat dari pada kesakitan gendang telinganya sekarang.

Secret Agent Of Despatch✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang