DUA PULUH SEMBILAN

6K 424 17
                                    

Daisy POV

Aku terbangun dengan tubuh yang tak bisa kugerakkan. Aku tidak bisa mengingat apapun kecuali wajah orangtuaku, paman bibiku dan Dalia. Air mataku perlahan mengalir, satu lagi yang tak bisa kuingat. Satu sosok yang membuatku sangat bahagia, namun sekeras apapun aku mencoba mengingatnya, aku tak bisa. Aku melihat kiri dan kanan, leherku mengenakan penyangga. Seluruh anggota tubuhku terasa kaku dan tak bisa kugerakkan. Terasa seperti besi berkarat kurang pelumas. "Dokter! Pasien bangun!" teriak salah satu perawat. Mereka menggunakan bahasa Jepang. Aku mengerti apa yang mereka katakan. Huh? Sejak kapan aku bisa berbahasa Jepang?

Seorang pria berjas putih mengenakan kacamata berusia sekitar 50 tahunan menghampiriku dan mengeluarkan senter kecilnya. Dirinya mencoba melihat bagaimana respon mataku terhadap cahaya. "Anda bisa mendengar saya?" dokter itu berbicara juga memakai bahasa Jepang. Aku mengangguk pelan. Auch! Perutku nyeri. Aku mengerang seketika.

"Perutnya mengeluarkan darah, Dok."

Dokter itu membuka bajuku dan mulai memerintahkan beberapa perawat membersihkan darah yang mengalir. Darah? Aku di mana dan apa yang terjadi? "Keadaan pasien stabil, gejala syok dan serangan kepanikan akan melandanya. Segera persiapkan seorang psikiater. Uh? Kenapa aku butuh psikiater? Aku mulai merasa panik karena dikelilingi orang asing ini. Aku mencoba menggerakkan tubuhku namun gagal. Aku merasa tubuhku tertindih beban berat, aku terjepit diantaranya. Aku menutup mataku lelah, aku kembali tertidur entah beberapa lama.

"Dae... Da....e..... Da...." Aku mendengar sayup-sayup suara. Mataku perlahan terbuka. Aku melihat wajah kuatir Kei menatapku. Aku mengerjap mataku berulang kali. "Syukurlah, Dae." Kei menangis di sebelahku. Beberapa perawat langsung memeriksa tubuhku cekatan. "Pastikan semuanya baik." Kei berbahasa Jepang berkomunikasi dengan salah satu dokter di sana. Aku terdiam menatap langit-langit yang berwarna putih. Aku masih tak mengerti apa yang telah terjadi. Aku juga masih tak mengerti kenapa aku bisa berbahasa Jepang. Bagaimana dengan sekolahku? Paman Bibiku? Apa mereka memarahiku karena pulang terlambat? Aku berusaha bangkit namun aku masih tak bisa menggerakkan tubuhku. "Dae, tenanglah. Kamu akan baik-baik saja." Kei memegang tanganku menguatkan sambil menghapus air matanya.

Sehari setelahnya, barulah aku bisa menggerakkan jemariku perlahan. Kei terus bersamaku saat itu, aku masih sulit berbicara jelas. Tenggorokanku sakit dan terasa kering meski telah meminum air mineral perlahan. Satu minggu berlalu dengan lambat. Aku sudah dapat duduk namun belum dapat berjalan. Semua aktivitas membuang kotoran aku lakukan ditempat tidur. Meski menjijikan, aku tidak bisa mengeluh. Bahkan menggerakkan kakiku pun sangat sulit. Kei sedang membantuku makan siang, dengan sangat perhatian dia selalu di sisiku.

"Aku ingin bertanya berulang kali tetapi tenggorokanku sakit. Kamupun terlihat sangat sibuk. Apa yang terjadi padaku?"

"Kamu tak mengingatnya?"

"Aku berjalan pulang dari sekolah dan..."

"Sekolah?"

"Ya, apa yang terjadi?"

Kei menatapku lama dan menghela napas. "Kamu mengalami kecelakaan. Perutmu robek dan anggota tubuhmu yang lain juga terluka. Kamu tidak sadarkan berbulan-bulan lamanya."

"A...apa?" tanyaku syok.

"Aku berusaha menyelamatkanmu."

"Lalu bagaimana Paman dan Bibiku? Apa mereka marah?"

"Kamu tak usah kuatir. Mereka tidak berani menganggumu lagi."

"Apa maksudmu?"

"Kamu berada di Jepang saat ini. Mereka tak akan menyentuhmu. Kamu tidak harus takut dan tertekan, aku di sini melindungimu."

Caramel Sunset (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang