Erol POV
Ini tahun pertama sejak kematian Daisy. Aku berusaha keras melanjutkan hidupku namun ruang yang di tinggalkannya begitu besar. Aku tidak akan bisa tertidur tanpa melihatnya dalam mimpiku. Eugene dan seluruh keluargaku bergantian mengirimkan foto Cara yang mulai tumbuh dewasa. Air mataku akan mengalir jika melihat wajahnya, Daisy pasti akan sangat bahagia jika dia masih hidup. Bayangan saat terakhir aku melihat wajahnya begitu jelas dalam pikiranku. Aku merindukannya setiap hari bahkan setiap waktu.
Aku meraih foto Cara tak jauh dari foto pernikahanku dengan Daisy. Wajahnya mengambil keseluruhan wajah Daisy, hanya mata dan warna kulitnya yang mengambil dariku. Ibuku mengatakan Cara mandiri sejak dia bisa berbicara dan berjalan, dia akan sangat marah jika ibuku masih membantunya menyuapkan makanan kemulutnya. Aku akan tersenyum berulang kali jika mengingat itu, keras kepalanya benar-benar di warisi dariku dan kemandiriannya di warisi dari Daisy.
Eugene memintaku untuk kembali dan menemui Cara, namun aku belum siap. Aku tidak bisa. Aku belum sembuh benar. Aku takut jika tanpa sadar melukai puteriku sendiri. Aku masih sering terbangun dan mengambil banyak pil penenang jika mimpi buruk itu mulai menghantuiku lagi. Kematian Daisy. Tubuhku tidak akan berhenti bergetar bahkan hingga pagi. Carolus begitu banyak membantuku, dia menghandle beberapa bisnisku dan pengawalku yang lain pun sangat telaten dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Ayahku selalu mengkhawatirkanku. Terkadang beliau mendatangiku dan membantu terapiku sebulan sekali. Ayahku jelas mengetahui bagaimana aku berusaha untuk sembuh. Aku pun mengakui ingin menemui Cara, bagaimanapun juga dia tetaplah buah hatiku bersama Daisy. Satu-satunya hadiah yang tersisa darinya.
"Tuan." Carolus membuyarkan lamunanku. "Makan malam sudah siap."
"Terima kasih." Aku bangkit berdiri dan menuju dapur. Aku menghela napas panjang, meja makan ini begitu panjang dan lebar. Andai Daisy hadir di sini menemaniku makan.
"Nyonya mengawasi anda dari atas sana, Tuan. Anda tidak akan sendirian." Carolus seakan bisa membaca pikiranku.
"Ya. Aku tahu. Kamu bisa makan sekarang. Beristirahatlah." Perintahku. Carolus pun meninggalkanku sendirian.
3 tahun setelahnya.
Aku kembali bekerja seperti biasa di New York sejak satu tahun yang lalu. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mencoba menata kembali hidupku. Awalnya aku sangat ingin menyerah dan meninggalkan semuanya, namun ibu dan ayahku menyakinkanku dan selalu menyadarkanku akan keberadaan Cara. James dan Owen mencoba menjodohkanku dengan berbagai wanita agar aku bisa melupakan Daisy cepat tetapi aku tak ingin. Tidak ada wanita yang menggantikan posisinya di hatiku. Semakin aku mencoba melupakannya dengan menerima wanita-wanita itu, aku semakin membenci diriku sendiri. Daisy sudah memenuhi sebagian bahkan keseluruhan hatiku.
Keesokan harinya, Eugene menemuiku di kantor menjelang makan siang. Dirinya baru saja tiba 2 hari di New York dan ingin berbincang dengan. Aku masih menandatangani beberapa berkas ketika pintu terbuka dan Eugene melangkah masuk.
"Bro." Eugene menghampiriku dan memeluk tubuhku erat.
"Hey." Aku melepaskan kacamata bacaku dan mempersilahkan Eugene duduk.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya semangat.
"Seperti yang terlihat." Aku menghubungi sekretarisku untuk membuatkan kami kopi dan memesankan makan siang.
"Luar biasa." Eugene ikut tersenyum.
"Bagaimana anggota keluarga yang lain?"
"Mereka semua baik."
"Glad to know that." Aku menyandarkan punggungku lelah. "Dan puteriku?" tanyaku lagi hati-hati.
"Cara tumbuh sangat manis dan mandiri. Tahun ini dia sudah memasuki sekolah dasar meski usianya masih muda, dia sangat pandai. Kamu harus menemuinya. Cara sangat merindukanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramel Sunset (COMPLETED)
RomanceWARNING!!! 21+ (Sudah di peringatkan ya. Jangan ngeyel yang belum cukup usia.) *Belum diedit sedikitpun. Penuh gramatikal eror.* "Kamu cinta dia bukan aku. Aku bisa memiliki semuanya, tapi tidak dengan hatimu." Kecewa Erol. "Aku memberikannya padamu...