DUA PULUH DUA

8.8K 425 35
                                    

[21+]

Enjoy!

Eugene POV

Erol terguncang berat. Kematian Daisy seakan merenggut seluruh hidupnya. Bayi mereka yang lahir premature masih di ruang intensif care. Ibuku dan istri James, Tiara serta Megan menjaganya bergantian. Bayi tersebut sangat cantik, dari garis wajahnya bisa terlihat menyerupai Daisy. Hanya warna kulitnya yang mengambil Erol yaitu putih berkilau. Erol tidak ingin keluar dari kamar utamanya, dia terus menerus menangis di sudut kamar ganti memeluk pakaian Daisy. Sementara jenazah Daisy akan di makamkan esok hari. Ayahku memerintahkan Carolus untuk benar-benar mengawasi Erol. Ayahku takut dia akan berlaku di luar akal.

Malam itu aku memasuki ruangan Erol, ini hari ke dua Daisy telah meninggal dan esok adalah pemakamannya. "Erol." Panggilku pelan. Erol masih duduk di sudut ruangan memeluk baju Daisy, air matanya sudah mengering dari matanya yang bengkak dan sembab. "Kamu harus makan sekarang." Pintaku. Erol tidak bergeming. Sudah 2 hari ini dia tidak makan. Meski pengawal kami memaksanya, makanan itu akan di muntahkan lagi. "Apa kamu tak ingin melihat puterimu? Dia sangat cantik seperti Daisy." Erol masih juga tidak bergeming. Matanya memerah karena kurang tidur. Wajahnya begitu kusut, dia terlihat bagai tubuh tanpa jiwa. Erol bangkit dan melewatiku. Aku mengikutinya. "Makanlah meski sedikit." Aku memintanya dan menunjukkan makanan yang penuh di atas troli. Erol hanya menatapku tajam, namun memilih diam. Tubuhnya menuju tempat tidur dan berbaring di sana. "Daisy tidak akan menyukai ini." Kataku lagi. "Kamu menyia-nyikan perjuangannya."

Erol bangkit dengan cepat dan meraih garpu di atas troli. Tepat saat dirinya akan menusuk lehernya, tanganku menghalangi sehingga garpu itu melukai tanganku. "F*CCCCCCK!" Makiku nyeri. Carolus beserta dua pengawal memasuki ruangan segera setelah mendengar umpatanku. Mereka dengan cepat menjauhkan troli tersebut dan menenangkan Erol. Mereka mengikat Erol di atas tempat tidur menggunakan tali. Erol memberontak dengan buas.

"Anda tak apa tuan?" Carolus melihat tangan kiriku yang sudah berlumuran darah.

"Ya. Aku sudah mencabut garpu yang menancap. Tolong sediakan P3K."

"Baik." Salah satu pengawal berlari keluar menyediakan apa yang ku pinta. Erol masih berusaha berontak.

"Bius dia." Kataku. "Sebelum dia menyakiti kedua kaki dan tangannya."

"Baik tuan." Carolus mengambil satu jarum suntik dari tas yang tak jauh darinya dan mulai menusukkannya ke lengan Erol. Hatiku sangat sedih harus melakukan ini kepada saudara kembarku sendiri tetapi guncangan yang di terima hatinya sudah membuatnya hilang akal. Jika tidak segera di hentikan, dia akan melukai dirinya berulang kali. Aku meninggalkan Erol yang sudah tertidur. Saat menuju dapur, ibuku dan Tiara menatap tanganku syok.

"Apa yang terjadi?" ibuku menghampiriku. "Parah sekali."

Aku sudah membalutnya namun darah masih mengalir dari sana. "Erol mencoba menusuk lehernya dengan garpu dan aku menghalanginya."

"Apa?!" ibuku nyaris berteriak.

"Lalu?" Tiara ikut bertanya.

"Erol tidak apa-apa, aku sudah menyuruh Carolus memberinya obat bius."

"Kamu harus segera menjahit luka itu." ibuku menasehati kuatir.

"Tak apa. Aku sudah merawatnya tadi."

"Mami akan memberi tahu papimu mengenai ini. Erol sudah di luar kendali. Ini baru dua hari semenjak Daisy meninggal."

"Dia sangat mencintainya, tetapi rasa bersalah juga menghantuinya. Kita harus membawanya kepada psikiater sebelum jiwanya semakin terguncang."

Caramel Sunset (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang