10. Ombak dan Badai - Part 1

478 79 12
                                    

Pulangnya, Jingga kembali diantar oleh Patih kembali sama seperti waktu berangkat. Sesuai janji yang dibuat laki-laki itu dengan Matahari, Patih mengantarkan Jingga sebelum jam tengah malam. Selama di perjalanan mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada satu pun dari keduanya berinteraksi satu sama lain.

Tapi Jingga merasakan Patih jauh lebih diam dibanding saat berangkat sebelumnya. Bahkan ketika tadi berpamitan dengan Rinjani saja, Patih hanya pamit seadanya lalu berjalan di depan Jingga, tidak mempedulikan perempuan yang kesulitan menyamakan langkah kakinya yang jenjang itu.

Baru ketiga kalinya Jingga satu mobil bersama Patih, gadis itu sedikitnya bisa memahami karakter dari laki-laki itu. Patih memang pendiam. Dia memang tipikal orang yang irit bicara jika memang tidak diperlukan. Sosoknya memang terlihat mendominasi, membuat siapa saja yang berada di dekatnya ciut. Tak terkecuali Jingga, gadis itu juga merasa sangat canggung duduk bersebelahan dengan Patih.

Patih juga tipikal orang yang tidak mempedulikan sekitarnya jika menurutnya tidak menarik. Tapi lain halnya jika berhubungan dengan Ryola, sepertinya. Karena Jingga menyadari satu hal yang mungkin orang lain tidak akan pernah perhatikan, sorot mata laki-laki itu berubah melembut dan hangat setiap kali melihat Ryola.

Seakan-akan ingin mengatakan bahwa laki-laki itu sangat mencintai Ryola.

Dia tidak pernah melihat sorot mata itu sebelumnya dari diri Patih. Ketika menghadapi orang disekitarnya–dan bahkan ketika menghadapi teman atau Jingga sendiri–sorot mata itu biasa saja. Bahkan terlihat tidak bersemangat.

Api semangat itu muncul ketika Patih bersama Ryola. Meskipun Jingga baru beberapa kali melihat kakak sepupunya itu berinteraksi bersama Patih, Jingga tahu bagaimana Patih memperlakukan seseorang dan bisa membedakan mana yang istimewa untuknya atau bukan.

Tak terasa perjalanan jauh itu hampir berakhir. Mobil Patih kembali memasuki jalanan komplek yang begitu akrab baginya. Komplek itu sunyi sekali. Meskipun pada siang hari juga komplek Jingga sepi orang yang lewat, tapi semakin malam semakin terasa sepinya. Beberapa kali memang security berpatroli mengitari jalanan komplek menjaga keamanan.

Mobil Audi berwarna hitam itu kembali berhenti di depan gerbang rumah Jingga, menandakan perjalanan mereka benar-benar berakhir. Perjalanan yang terasa canggung itu akhirnya selesai juga.

Jingga bisa bernafas lega dan beristirahat. Hari ini rasanya melelahkan sekali meskipun selama di tempat pesta, Jingga hanya mengitari stall camilan dan malah Jingga lebih banyak diam bersama Patih. Mereka juga selama di sana meskipun Patih selalu menemani Jingga, keduanya hanya sesekali saja bertukar cerita. Dan itu pun hanya obrolan singkat. Mungkin itu yang membuat Jingga lelah.

Jingga melepaskan seatbelt yang melingkari tubuhnya ketika mobil sudah berhenti dengan sempurna, lalu membalikan tubuhnya menghadap Patih. Berniat mengucapkan terima kasih banyak dan salam perpisahan.

"Terima kasih untuk malam ini ya, Kak. Maaf Jingga malah merepotkan Kakak sampai harus mengantar Jingga lagi ke rumah. Padahal Jingga bisa ikut Aa pulang bareng." kata Jingga dengan tulus. Gadis itu memang sangat berterima kasih pada Patih karena telah repot-repot menjemput bahkan mengantarnya kembali ke rumah dengan selamat.

"Tidak apa kok, Dik. Rumah kita tidak terlalu jauh juga jaraknya. Jadi biar saya sekalian pulang." balas Patih diselingi senyuman tipis.

Keduanya kembali terdiam. Terlebih Jingga, bingung hendak mengatakan apa lagi. Jingga memutuskan untuk segera keluar dari dalam mobil. Sebelumnya dia mengucapkan salam perpisahan dulu.

"Kalau begitu Jingga masuk dulu ya, Kak? Sekali lagi terima kasih untuk hari ini dan maaf sudah merepotkan. Selamat malam, Kak. Hati-hati di jalan ya, Kak." pamit Jingga sambil merundukan kepalanya sekilas.

Le Coup de FoudreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang