38. Kesempatan Kedua

499 69 16
                                    

Susah payah Jingga dan Seftia membopong tubuh Patih yang tinggi dan berat membuat nafas keduanya tersengal-sengal. Sesampainya di depan pintu kamar Patih, Seftia buru-buru mengeluarkan kunci kamar milik laki-laki itu dari dalam tasnya dan membukakan pintu agar Jingga bisa segera meletakkan Patih di atas tempat tidur.

Setelah Jingga berhasil meletakkan Patih di atas tempat tidurnya, gadis itu duduk di ujung kasur sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Tubuh Patih boleh terlihat kurus, tetapi Jingga tidak menyangka bahwa cukup membuat gadis itu kewalahan membopong tubuhnya.

Jingga harus mulai menasihati Patih untuk mengontrol diri agar tidak mabuk dan merepotkan orang seperti sekarang.

Seftia meletakkan barang-barang milik Patih di atas nakas di samping tempat tidur laki-laki itu kemudian mengedarkan pandangannya. Baru kali pertama Seftia masuk ke kamar atasannya itu dan semuanya nampak rapi. Terlepas adanya room service tentu saja, Seftia tidak melihat barang laki-laki itu berserakan di ruangan. Koper pakaiannya pun laki-laki itu tempatkan di ujung ruangan.

"Maaf, ya, Bu. Saya malam-malam malah merepotkan Ibu sampai harus menyusul ke tempat Patih."

Jingga yang saat itu sedang membetulkan posisi tidur Patih serta melepaskan sepatu yang dikenakan oleh laki-laki itu menoleh ke arah sumber suara yang mengajaknya bicara sekilas sebelum menyelesaikan pekerjaannya. Diselimuti tubuh laki-laki itu yang sekarang tidur mendengkur saking pulasnya kemudian Jingga menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah Patih.

Meskipun sedang tertidur seperti itu Jingga tidak bisa memungkiri bahwa laki-laki itu sangat tampan. Salah satu faktor yang membuat Jingga jatuh hati tentu saja karena melihat wajahnya yang tampan itu.

"Tidak masalah, kok. Justru kalau saya tidak datang malah semakin khawatir," timpal Jingga kemudian berbalik menatap gadis cantik sekretaris Patih yang ia tebak usianya tidak berbeda jauh darinya. "Omong-omong, jangan panggil dengan menggunakan Ibu. Panggil saja nama saya. Usia kita nampaknya tidak berbeda jauh."

Seftia tersenyum canggung. Meskipun Jingga mempersilahkan dia memanggil hanya namanya saja tanpa menggunakan embel-embel formal untuk menghormati posisi gadis itu, tetap saja Seftia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun juga Jingga merupakan kekasih Patih yang utamanya merupakan atasan gadis itu.

"Tadi saat kamu telepon, kamu bilang bahwa posisi kamu itu sekretaris Patih? Memangnya kemana manager Mas Patih sebelumnya? Sudah berapa lama bekerja dengan Mas Patih?"

Pertanyaan yang Jingga lontarkan membuat Seftia tersenyum. Gadis itu memang tidak mengetahui ada masalah apa di antara atasannya dengan Jingga. Yang dia tahu bahwa atasannya itu tidak mau memiliki hubungan dengan wanita lain karena menunggu seseorang yang sekarang Seftia yakini orang yang Patih maksud itu adalah Jingga.

Selama ini Seftia baru menyadari, Patih selalu membatasi diri jika ada tamu wanita yang datang menemuinya di kantor. Laki-laki itu selalu memperingati Seftia agar membuat para tamu wanita itu menunggu di ruang tunggu, jangan sampai masuk ke ruangan dengan dalih Patih tidak menyukai ada orang lain yang menginvasi privasinya. Dan sekarang Seftia menyadari hal itu Patih lakukan agar tidak mengundang berita yang tidak-tidak menerpa dirinya.

Patih menjaga dirinya dan hanya fokus setia kepada satu wanita pilihannya saja.

"Saya sendiri kurang tahu, Bu. Saya masuk setelah Pak Patih ditunjuk untuk memegang perusahaan. Kalau dihitung dari awal mula masuk, sudah hampir dua tahun setengah saya bekerja sama dengan Pak Patih." dengan lugas Seftia menjawab pertanyaan yang dilontarkan Jingga kepadanya.

Saat Jingga hendak bertanya lagi kepada Seftia, tiba-tiba sebuah tangan terulur menarik lengan Jingga membuat gadis itu tersentak kaget dan mendapati Patih menatapnya lekat-lekat. Jingga buru-buru berbalik menatap laki-laki itu.

Le Coup de FoudreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang