22. Unwanted Feelings

340 61 45
                                    

Keduanya berjalan menuju ruangan Ryola. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara untuk mencairkan suasana yang terkesan canggung ini.

Prabu merasakan perubahan sikap tunangannya itu yang terkesan dingin. Bahkan lebih dingin sikapnya yang sekarang jika dibandingkan dengan ketika pertama kali Prabu mencoba mengenalnya dulu.

Laki-laki itu tidak bisa menyalahi Ryola. Wajar saja tunangannya bersikap seperti itu karena kesalah pahaman yang Prabu timbulkan sendiri.

Kalau saja dari awal Prabu mengatakan hal yang sebenarnya pada Ryola, mungkin gadis itu tidak akan bersikap sedingin saat ini.

Akhirnya keduanya sampai juga di ruangan gadis itu. Suasana semakin terasa menegangkan di dalam ruangan yang sunyi itu. Ryola masih menunjukan sikap tidak bersahabat pada Prabu membuat laki-laki itu kebingungan harus menunjukan sikap seperti apa.

"Duduk saja dimanapun. Buat dirimu senyaman mungkin." kata Ryola dingin.

Dengan canggung Prabu duduk di sofa yang berada di seberang meja Ryola. Keduanya kembali terdiam. Ryola sibuk membuka catatan pasien, sedangkan Prabu bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Mau minum apa?" tawar Ryola pada Prabu tanpa membuat kontak mata dengan laki-laki itu.

"Tidak perlu repot-repot, La. Terima kasih." tolak Prabu dengan sopan.

Ryola menghela nafas. Gadis itu bangkit berdiri sambil mengambil air mineral gelasan yang sudah disediakan dari pihak rumah sakit untuknya dan memberikan kepada Prabu sambil duduk di sofa yang bersebrangan dengan laki-laki itu.

"Oke, jadi apa yang ingin kamu jelaskan padaku, Mas?" tanya gadis itu tanpa basa-basi.

Ryola masih kesal pada laki-laki di hadapannya itu sebenarnya. Gadis itu masih belum bisa memaafkan kesalahan Prabu. Ryola masih butuh waktu untuk menetralisir emosinya.

Tetapi melihat laki-laki di hadapannya itu nekat datang ke Bandung hanya untuk menemuinya, membuat Ryola mau tidak mau menerima laki-laki itu. Gadis itu tidak bisa menghindar lagi karena Prabu menangkap basah dirinya di tempat dia kerja.

Mendengar pertanyaan Ryola, Prabu menarik nafas dalam-dalam sebelum mencoba menyampaikan maksud kedatangannya menemui gadis itu. Padahal sebelumnya Prabu sudah memantapkan hati dan membuat rencana apa saja yang akan dia sampaikan kepada gadis itu. Tetapi, ketika berhadapan langsung dengan orangnya, Prabu melupakan apa saja yang harus dia katakan kepada Ryola.

Melihat Prabu yang hanya bungkam saja, Ryola menaikan sebelah alisnya.

"Kenapa diam saja? Katanya tadi kamu mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?"

Prabu bingung harus menjelaskan duduk permasalahannya dari mana. Tetapi dia juga tidak bisa membuat Ryola menunggu.

"Ayo, Mas. Apa lagi yang kamu tunggu? Aku tidak punya banyak waktu." paksa gadis itu melihat Prabu yang sama sekali tidak berkutik.

Ryola sudah tidak sabar melihat sikap Prabu yang diam saja tidak mengatakan apapun. Gadis itu tidak punya banyak waktu untuk menghabiskannya hanya berdiam diri seperti ini. Ada pasien yang harus dia kunjungi siang ini dan Ryola tidak bisa membiarkan pasien itu menunggu lebih lama lagi.

"Mas—"

"Aku... aku minta maaf," ujar Prabu memotong ucapan Ryola.

Gadis itu mengerutkan dahinya. Jauh-jauh datang dari Jakarta hanya untuk mengucapkan sepenggal kalimat maaf?

Ryola menghembuskan nafas perlahan, menelan rasa kecewa yang tiba-tiba menjalar di tubuhnya. Gadis itu mendongak menatap laki-laki yang duduk di depannya itu lurus.

Le Coup de FoudreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang