Part 15

1.1K 163 0
                                    

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Kondisi Zinse mulai membaik, Ia sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasa. Hanya kadang bila terlalu banyak bergerak tubuhnya akan sedikit lelah. Mungkin karena efek racun yang belum sepenuhnya menghilang dari tubuhnya.

Ia sudah pulang keistana, terlalu lama dikerajaan Zyan bisa membuat dirinya dalam bahaya menurut Herclus. Sepupu Zinse itu keukeuh membawa Zinse pulang setelah mendapat izin dari orang tua Zyan.

Zyan sendiri akhirnya mengalah karena lagi lagi Ia kalah berdebat. Tapi Ia ikut meminta izin untuk menginap beberapa hari diistana Zinse. Sayang permintaannya itu ditolak sang ayah. Zyan harus melakukan beberapa hal untuk menepatkan posisinya yang sebentar lagi jadi raja.

Berita tentang Zinse yang keracunan pun disembunyikan dari sang ayah. Tak ingin menambah masalah dan beban pikiran Morfion. Pelakunya juga akan ditangani oleh Herclus dan Zyan sendiri.

Hari ini Zinse kabur dari pengawasan Herclus. Gadis itu pergi membawa beberapa kantung koin emas dan perak miliknya. Serta wajah yang ditutup selembar kain dan jubah besar kesayangannya yang memiliki tudung besar.

Tempat yang ditujunya adalah sebuah pondok panti asuhan yang pertama kali dibangun oleh Ibu Zinse. Waktu awal Ia menjabat sebagai ratu bangsa naga. Pondok panti asuhan ini sudah jarang dikunjungi Ibunya. Zinse terakhir kali kemari adalah satu tahun yang lalu.

Zinse menyukai tempat itu karena banyak sekali anak anak kecil. Anak yang terbuang atau orang tuanya meningggal. Anak anak yang kekurangan kasih sayang dan hidup pas pasan dipondok itu. Hal yang membuat Zinse bersyukur karena kehidupannya jauh dari kata layak. Sangat layak.

"Bibi! Gilza".

Seorang wanita paruh baya menatap kedatangan Zinse bingung. Ketika Zinse membuka tudungnya wanita paruh baya itu terbelak keget. Matanya berkaca haru melihat sosok yang dikenalinya.

"Tuan putri".

Zinse menghambur dalam pelukan wanita paruh baya yang sering dipanggil Bibi Gilza itu. "Anda semakin dewasa dan cantik seperti Yang Mulia," bisik Bibi Gilza membalas pelukan Zinse.

Pelukan mereka terlepas, Zinse tersenyum manis. "Aku sangat merindukan Bibi. Bagaimana kabar anak anak?".

Bibi Gilza tersenyum haru, Ia menarik Zinse menuju belakang panti. "Saya senang tuan puti datang, anak anak juga pasti sangat senang. Mereka sering menanyakan anda," Zinse cemberut kesal membuat Bibi Gilza mengrutkan keningnya.

"Apakah perkataan saya salah?".

"Berhentilah berbicara kaku seperti itu Bibi. Aku tak suka mendengarnya terasa datar".

Bibi Gilza menggeleng lembut. "Saya tak bisa".

Zinse mengendus pasrah. Memang sulit mengubah kebiasaan yang sudah melekat pada diri seseorang. Ia tak suka saja logat bicara Bibi Gilza.

Aku tak gila hormat.

"Lihat siapa yang datang!" Seru Bibi Gilza membuat anak anak panti yang berjumlah sekitar 10 anak itu berbalik dari kesibukan mereka. Mata mereka berbinar senang melihat Zinse bagaikan permen.

"KAKAK ZINSE".

Mereka berlari saling mendahului ingin memeluk Zinse. Namun Zinse memasang wajah garangnya dan meletakan tangannya didepan menghalangi mereka. Mereka memasang wajah bingung dan sedih.

"Kak Zinse tak sayang kita lagi?" Tanya seorang gadis muda berambut persis seperti Zinse.

"Yang mau dipeluk harus ngantri!" Mereka tertawa mendengar alasan Zinse. Ia memang memiliki cara sendiri menunjukan rasa sayangnya pada oarang lain.

The Dragon Princess ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang