20. Blood of Fairy

45 10 0
                                    

Ruangan luas berciri khas perak hanya dipenuhi suara tangis seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan luas berciri khas perak hanya dipenuhi suara tangis seseorang. Tidak ada sosok lain yang menenangkan atau sekedar menemani, selain remaja tak sadarkan diri di ranjang. Rasa sedih di hati membuat air mata tak berhenti turun. Tangan renta sang ratu mengelus rambut remaja dengan mulut tak berhenti mengucap maaf, meski tidak ada jawaban yang didapat.

Ratu Elsya terlalu terkejut dengan kenyataan bahwa anak yang ia kira sudah meninggal 17 tahun lalu, sekarang ada di depannya. "Maafkan Ibu ini, Nak. Ibu tidak sadar kau ada. Ibu sudah jahat karena tega menelantarkan anaknya selama 17 tahun." Tangisnya semakin kencang.

Sudah lebih dari satu jam wanita paruh baya itu duduk sambil menangis. Dirinya tidak beranjak sedikit pun dari samping ranjang. Memang belum ada bukti kalau remaja itu anaknya. Namun, ratu langsung percaya, mungkin karena perasaannya terlalu terkejut ketika mendengar sang anak masih hidup.

Seseorang mengetuk pintu beberapa kali membuat sang ratu mau tidak mau menyeka air mata. Setelah dirasa ekspresinya terlihat tenang, suara keluar dari tenggorokan. "Masuklah!"

Pintu terbuka menampilkan sosok Hiden dalam posisi bungkuk. Peri berambut putih dengan sayap yang tak kalah putih itu kembali berdiri. "Maafkan saya karena mengganggu kegiatan Anda, Yang Mulia. Saya hanya ingin memberitahukan kalau peri lain yang tadi tidak sadarkan diri, kini sudah siuman."

Peri wanita bermahkota emas itu langsung berdiri. Ia melirik sejenak ke arah ranjang, kemudian beralih menatap Hiden. Kakinya dilangkahkan mendekat ke pintu. "Aku harus tanya sesuatu pada dia. Di mana dia sekarang?."

"Mari, Yang Mulia." Hiden merentangkan satu tangan ke arah kanan. "Dia ada di kamar perawatan."

Keduanya berjalan dengan langkah pelan, melewati lorong berdinding tinggi. Tidak ada percakapan di antara mereka. Hiden segan terhadap atasan, sedangkan ratu tidak ingin mengeluarkan suara saat ini, terlebih tenggorokannya terasa sakit karena kegiatan menangis tadi.

Ruangan yang mereka tuju adalah ruangan yang berada di ujung lorong. Ada sebuah tulisan "Ruang Perawatan" yang sengaja diukir di pintu depan. Tempat ini digunakan khusus untuk para peri kerajaan yang jatuh sakit. Namun, kali ini diisi oleh peri yang bukan berasal dari kerajaan.

"Ra-tu." Remaja laki-laki itu akan bergerak turun dari ranjang jika sang ratu tidak cepat menahan.

"Istirahatlah, jangan dipaksakan untuk banyak bergerak! Bagaimana keadaanmu saat ini?" tanya sang ratu, berjalan ke samping ranjang dan duduk di kursi yang tersedia di sana.

Theo mengangguk sambil tersenyum. Ekspresi yang biasa ketus, kini terlihat ramah. "Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan putrimu? Maaf, aku lalai menjaganya." Ia menunduk, tidak berani menatap sang ratu.

Mata Ratu Elsya membulat, mulut sedikit terbuka, dan napas tertahan di paru-paru. Beberapa detik kemudian, ia menetralkan ekspresi dan bernapas normal. Pandangan lekat diarahkan pada Theo karena rasa penasaran di hati. "Kau tahu Arselin adalah anakku?"

Theo yang tengah menunduk segera mendongak. Raut wajah heran ditampilkan saat mata menubruk wajah di depannya yang juga terlihat keheranan. Remaja laki-laki itu menelaah ekspresi sang ratu, berharap menemukan kebohongan atau sekedar mengetahui wanita paruh baya ini tengah bercanda. Namun, tidak ada apa pun yang didapatkannya.

"Aku belum memberitahu Ratu Elsya tentang anaknya." Suara lain terdengar hingga membuat kedua peri yang tengah heran itu menoleh bersamaan. Mata mereka melihat Ana yang tersenyum.

"Apa dia tahu kalau aku ibunya?" tanya sang ratu dengan raut muka tegang.

Ana menggeleng sambil terus berjalan mendekati ranjang. Ia duduk di kursi sisi ranjang kanan, besebrangan dengan sang ratu. Dengan gerakan anggun, peri berkulit putih dengan mata biru itu duduk. "Maaf, aku hanya tidak mau memberimu harapan palsu. Apa yang terlihat saat ancaman langit datang, aku juga ragu. Oleh karena itu, saat anakmu memutuskan untuk pergi ke Rosehill Barat, aku mengizinkannya. Aku membutuhkan bukti kalau dia memang anakmu."

"Jadi, perjalanan mereka hanya untuk mencari bukti?" Mata sang ratu mulai berkaca-kaca, suaranya tampak sedikit bergetar. "Bagaimana kalau mereka terluka lebih parah dari ini? Mereka tidak punya kekuatan, lagi pula kenapa harus cari bukti ke sana? Kau gegabah, Peri Ana!" Kekhawatiran yang berlebih membuatnya terlihat sedang marah.

"Aku tidak gegabah! Buktinya aku mengirim peri lain ikut dengannya," ucap Ana tenang.

"Kalau mereka tidak selamat, kau mau tanggung jawab? Lihatlah anakku sekarang belum sadar! Pantas saja kau tidak mau memberitahu siapa anakku sebelum mereka pulang. Kalau mereka menjadi abu di Rosehill Barat dan tidak kembali, apa yang akan kau katakan tentang anakku? Kau harusnya mengambil keputusan yang bijak!" Ratu Elsya berkata menggebu-gebu.

Theo meneguk ludah kasar saat mendengar suara lembut Ratu Elsya yang berubah lantang. Ia hanya menunduk sambil mengatur napas karena harus berada di situasi seperti ini. Bayangkan saja, peri dari klan tanah itu baru sadar beberapa saat lalu, bahkan dirinya baru melihat-lihat ruangan itu sekitar tiga menit sebelum ratu datang. Matanya dilirikkan ke arah kanan di mana Ana berada.

Remaja laki-laki yang tidak senang dengan suasana canggung itu memberanikan diri untuk bertanya, "Maaf—"

Ana menatap sang ratu dengan pandangan sulit diartikan. "Ratu Elsya, jangan pernah meragukan instingku! Kau tidak tahu alasan lain kenapa aku mengirim mereka, kan? Jadi, berhentilah berbicara kalau aku gegabah. Aku tidak akan mungkin mengambil keputusan tanpa pertimbangan lain. Lagi pula, kau sudah dengar sendiri kalau Arselin hanya kelelahan. Jangan memperbesar masalah!" Peri dengan jubah biru tua itu mulai tersulut amarah, bahkan sampai berdiri dan meninggalkan tempat itu.

Ratu Elsya menyadari telah berbuat salah. Ia menghela napas berat, kemudian tertunduk sedih. Hatinya tadi terlalu kalut hingga tidak bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulut. Air mata mulai menetes di pipi, suaranya terdengar pilu di telinga Theo yang masih ada di sana.

Laki-laki berambut cokelat memejamkan mata karena bingung harus berbuat apa. Ia tidak terbiasa bersikap lembut pada peri lain, apalagi harus menenangkan peri yang tengah menangis. Namun, pikirannya buntu, sehingga dengan hati ragu mulai melontarkan kata. "Maaf, Yang Mulia, aku tidak bermaksud kurang ajar. Akan tetapi, apa yang dikatakan Peri Ana adalah benar. Aku sudah diberi tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga diri. Ini dari si Tua Pyto yang kami temui di sana."

Mendengar ucapan itu membuat sang ratu berhenti menangis, meski tidak sepenuhnya. Matanya menatap lekat ke arah Theo. "Ayahku? Kau tahu ayahku?"

Sekali lagi, Theo meneguk ludah kasar dengan mata membulat. "Demon Pyto ... Demon Phyto adalah ayah Ratu?"

Saat Ratu mengangguk, Theo merasa jantung lepas dari tempat. Kenangan di Rosehill Barat dan sosok Pyto memenuhi pikirannya. Pantas saja demon itu tidak jahat, bahkan terlihat sangat baik.

"Yang Mulia Ratu, di mana Nathan?"

"Yang Mulia Ratu, di mana Nathan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Blood of Fairy [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang