Seluruh penghuni Rosehill Timur berkumpul kembali di pelataran istana. Mereka mengira kerajaan akan menggelar acara pengorbanan karena sebelumnya sudah diumumkan bahwa perwakilan peri yang pulang tidak membuahkan hasil. Perkiraan mereka diperkuat dengan adanya Emma, Asby, Theo, dan Petinggi Negeri Ana di podium. Semua peri mulai merasa heran dengan dua sosok lain yang ikut ke Rosehill Barat tidak terlihat.
“Sepertinya, Vion dan makhluk berambut hitam itu jadi korban di Rosehill Barat. Mereka kan lemah dan tidak punya kekuatan.” Artha melayangkan komentar pedas dengan senyum mengejek. “Mereka memang lemah.”Seorang peri laki-laki berambut jingga yang ada di sebelahnya menoleh. “Benar, bagaimana mungkin peri yang tidak pernah melawan saat di-bully bisa selamat dari makhluk menyeramkan di Rosehill Barat.”
Semua yang mendengar menggangguk membenarkan ucapan itu. Mereka membuat grup untuk membicarakannya, padahal pembahasan itu sama saja. Hal tersebut membuat suasana pelataran menjadi cukup gaduh. Berbeda sekali dengan keadaan podium yang hening.
Artha membuka mulut lagi. “Vion dari klan tanpa—“
Semua menghentikan pembicaraan ketika Ratu Elsya berjalan menuju podium. Fokus utama bukan pada sang ratu, tetapi pada peri cantik di sebelahnya. Mata mereka membelalak dengan detak jantung menggila, seperti pertama kali melihat kecantikan yang luar biasa. Baru setelah ratu dan gadis itu duduk di podium, para peri mulai berbicara lagi. Namun, kali ini dipenuhi pujian dan penasaran tinggi terhadap sosok asing yang tidak pernah mereka lihat.
Peri yang memakai gaun putih dan bermahkota kerajaan itu tersenyum kaku. Ia merasa gugup ketika menyadari kalau sekarang menjadi pusat perhatian seluruh penduduk negeri. Hati gadis itu berkeinginan kuat untuk berteriak agar tidak ada yang memandang ke arahnya. Namun, seperti dikendalikan sesuatu, mulutnya tertutup rapat.
“Tidak usah gugup. Kau harus membiasakan diri karena hal seperti ini akan banyak ditemui di masa depan.” Ratu Elsya tersenyum sambil mengelus punggung tangan gadis itu.
Vion akhirnya tersenyum lebar dengan mata tertutup, menampilkan wajah manis yang membuat mata siapa pun terpesona. Banyak peri menganga lebar karena tidak bisa berkata-kata, termasuk Theo yang berada di podium. Remaja dari klan tanah itu lagi-lagi terkejut dan merasa tidak percaya pada kenyataan yang terjadi sekarang, apalagi untuk kali pertama melihat sahabatnya begitu feminim.
“Dia cantik sekali, tidak seperti biasanya.” Theo berucap keras tanpa sadar, matanya tidak berkedip menatap Vion.
Emma yang juga tengah menatap Vion, akhirnya menoleh ketika mendengar kata-kata cukup keras di telinga. Gadis kecil itu menyikut perut Theo yang langsung meringis dan melotot, ekspresi kesal mulai terbentuk di wajah peri itu. “Hei, itu sakit!” ucapnya dengan suara rendah.
“Kau berbicara terlalu keras, lagi pula Kak Vion selalu cantik. Apa maksudmu berbicara kalau dia tidak seperti biasanya?” Wajah Emma tak kalah kesal.
Laki-laki berambut cokelat itu akan membalas ucapan Emma jika tidak melihat Gian yang melotot. Seakan mengerti bahwa ayahnya tengah mengode, Theo akhirnya diam . Ia mengembuskan napas gusar dan melayangkan tatapan ke arah lain. Akhir-akhir ini, dirinya tidak bisa bebas untuk berekspresi atau berkata sesuai keinginan.
“Terima kasih kepada semua yang hadir di sini. Aku akan memperkenalkan seseorang yang sangat penting.” Sang ratu mulai bernarasi sambil tersenyum. “Gadis cantik ini adalah anakku.” Tangannya mengarah pada Vion yang masih tersenyum kaku, gadis itu melihat jika pelataran kini tampak sangat riuh.
***
Nathan terdiam kaku dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia tak berkedip sama sekali saat ini. Hatinya berdesir kencang dan tanpa diminta, senyuman terbit. Mata laki-laki itu mengikuti setiap gerakan Vion yang tengah berdiri di podium, menghiraukan keramaian di depannya. Entah kenapa, kata-kata yang tadi direncanakan untuk dilayangkan seperti hilang begitu saja.
Semua terjadi selama beberapa menit, sebelum seorang peri berambut putih berseru, “Ada makhluk asing! Itu demo!”Nathan mendapat kesadaran kembali, kali ini pandangan menyorot para para peri yang menjauh. Namun, beberapa peri dari podium terbang dan mengepungnya. Sorak-sorai kegirangan berubah menjadi keributan karena panik. Remaja yang berusia 18 tahun itu menahan napas saat sebuah tombak tepat berada di depan leher. Pikiran mulai mengulang masa-masa ketika pertama kali ke sini.
“Kenapa kau ke sini?” Hiden berteriak garang, menciutkan sedikit keberanian Nathan.
Manusia itu mencoba mengatur jantung yang masih berpacu kencang, saat ini ia harus terlihat berani. “Tidakkah kalian harusnya lega? Aku hanya membawa empat demon saja ke sini, tidak lebih. Singkirkan benda sialan itu dari depan leherku!” Laki-laki itu berucap lantang sambil tersenyum dalam hati, berkebalikkan dengan ekspresi mukanya yang tampak tegas. “Setelah pulang dari sini, aku harus ikut ekstrakurikuler teater atau kelas drama. Aktingku bagus sekali!” batinnya.
Di sisi lain, Vion mengucek mata, kemudian memicing untuk memastikan kalau dirinya tidak salah lihat. Ia mendesah dengan ekspresi sedih ketika sosok yang diperhatikan itu memang benar-benar Nathan. Perasaan kecewa berkumpul karena tidak rela bahwa semua ini terjadi. Gadis itu menoleh dan mendapati Theo yang tengah menatap dengan ekspresi datar. “Kenapa dia?” tanyanya dalam hati.
“Peri Hiden, dia itu Kak Nathan!” Emma berteriak hingga membuat semua fokus beralih padanya. Gadis kecil itu terbang mendekati dan memeluk Nathan secara tiba-tiba. Tombak yang mengarah pada laki-laki itu segera diturunkan. “Kak Nathan, kenapa tidak kembali bersama Kak Vion?”
Di luar dugaan, Nathan mendorong Emma hingga terjatuh. Gerakan cepat Vion dan Theo tidak berguna sama sekali karena gadis itu sudah terduduk di tanah yang keras. Hiden yang berada di sana pun hanya melongo, tangannya segera melepas tombak, kemudian menolong. “Maafkan aku. Apa sakit?” tanyanya khawatir.
Dua demon maju ketika peri dari klan tanah itu hampir mendorong Nathan. Hal tersebut menjadikan keadaan terbalik, Theo yang terjungkal karena didorong, Beruntung Vion yang ada di sana refleks merentangkan tangan untuk menahan tubuh sahabatnya. Kegiatan itu tak luput sedetik pun dari pandangan manusia yang tersenyum hambar.
Tangan Nathan bergerak menjauhkan Theo dari Vion. “Aku ke sini hanya ingin merundingkan sesuatu. Vion, apa kau tidak menyampaikan apa yang kutitipkan?” Laki-laki itu sebenarnya ingin tertawa ketika melihat ekspresi gadis yang membelalakan mata dengan mulut terbuka, tetapi keadaan terlalu serius untuk melakukan hal lain.
Semua peri yang tak jauh dari sana terheran-heran dengan ucapan Nathan pada peri cantik bernama Vion. Mereka belum sempat diberi tahu karena kejadian ini. Beberapa peri merasa takut, bahkan Artha berwajah pasi saat ini. Ia berpikir kalau gadis itu benar-benar Vion, tamatlah riwayatnya. Ingatan-ingatan tentang pem-bullyan terhadap peri yang yang dianggap berasal dari klan tanpa kekuatan itu kini bermunculan, membuat ketakukan semakin kuat. “Tamatlah riwayatku!” ringisnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood of Fairy [COMPLETE]
FantasyPerjalanan hidup Vion tak lepas dari kekecewaan. Peri itu dikenal tak memiliki kemampuan, tak memiliki orang tua, dan tak banyak orang yang mau berteman dengannya. Suatu hari, seorang laki-laki dengan fisik berbeda muncul. Vion merasakan rasa antusi...