05 : Penengah

206 14 1
                                    

Memasuki kamarnya sendiri, Rara meletakkan buah tangan dari kakak iparnya di meja samping tempat tidur dan masuk ke kamar mandi membasuh muka sembari menuntaskan tangisnya. Ia melihat cermin yang memantulkan sosoknya dengan menyedihkan.

"Dasar cengeng" gumamnya.

Tak lama kemudian Rara bangkit berjalan menuju lemari pakaian. Menggeser kursi belajar yang ada di samping lemari kemudian ia panjat untuk meraih koper miliknya yang berada di atas kotak kayu berisi pakaian itu. Air mata yang turun di pipi dengan sendirinya terus menerus ia usap dan tanpa berpikir ia mengemasi pakaiannya.

Mau pulang. Dua kalimat yang terus berseliweran di kepalanya.

Tapi kemana? Sebuah pertanyaan yang juga bergumul menyesaki pikiran.

Rara berjongkok menelungkupkan kepala pada kedua betisnya, kembali menangis. Kemana ia harus pulang?

Apakah kedua orang tuanya akan menyambut kehadiran sosoknya dengan senang saat ia kembali ke rumah? Apakah mereka akan memeluknya dengan hangat sembari mengucapkan kalimat yang bisa membuatnya tenang?

Tidak, mereka sudah tiada.

Berulang kali ia tegaskan. Ayah dan bunda sudah tiada.

Sering kali ia menyangkal dan tak bisa menerima kenyataan tersebut.

“Bunda Rara mau pulang. Nggak mau disini. Aku kangen”

Hanya menangis. Begitu terus tanpa bisa melakukan apapun.

Atau sebenarnya ia bisa? Pergi menyusul mereka misalnya. Mungkin itu bisa menjadi satu opsi untuknya.

Sebuah ketukan dari luar kamar mengembalikan kesadarannya. "Ra?" Panggil sebuah suara yang ia kenal.

Rara bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk kembali membasuh muka secepat mungkin kemudian menyeka air yang menetes dengan handuk sebelum dengan sigap segera membuka pintu kamarnya.

Kali pertama yang ia lihat adalah sosok perempuan anggun yang tersenyum menatapnya dengan mata penuh kasih sayang dan memeluknya.

"Mamah kangen banget," kalimat pertama yang terlontar dari bibir wanita itu. Setelah melepas pelukan, wanita itu mengusap kepalanya. "Kamu apa kabar? Sudah sebulan kita nggak ketemu,"

Rara tersenyum. “Rara baik. Rara juga kangen sama Mamah”

Wanita itu adalah ibu dari Geovan yang jika di sederhana kan bisa ia sebut sebagai mertua. Seorang wanita yang membawanya kemari dengan penuh pertimbangan dan berani mendekapnya di kala orang lain tak ada yang memegang tangannya sekalipun. Wanita itu adalah cahaya yang menuntunnya kembali dari kegelapan. Penyelamat hidupnya. Sosok perempuan yang saat ini sudah ia anggap sebagai ibu.

"Mamah baru saja sampai udah pengen lihat muka mu, berat banget menahan rindu ternyata," setiap kalimat yang terucap dari bibir sosoknya selalu hangat, berbanding terbalik dengan putra bungsunya. "Kamu baru mandi? Yuk kita makan malam, ketemu sama papah terus lihat oleh-oleh yang mamah bawa dari Jogja," ajak Ratna bersemangat pada putri bungsunya.

Rara mengangguk, menurut begitu saja ketika Mamah membawanya menuruni tangga sampai duduk di meja makan yang sudah berjejer berbagai makanan mewah khas hidangan yang selalu ada saat wanita itu berada di rumah. Kapan hidangan tersebut disiapkan Rara tak mengetahuinya, karena tidak turun tangga sejak pulang sekolah tadi.

Rumah ini sebelumnya sepi. Hanya berisi ia dan Geovan juga dua asisten rumah tangga yang di pekerjakan. Mereka jarang terlihat dan sesekali muncul untuk menyiapkan makan karena memang bekerja dari pagi hingga sore ataupun saat ada panggilan. Seperti memasak makan malam spesial seperti saat ini karena biasanya Mamah sendiri yang akan memasak saat malam hari.

We Are A Couple (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang